Berdasarkan perjalanan sejarahnya, daerah Grobogan sudah dikenal sejak masa kerajaan Mataram Hindu. Daerah ini menjadi pusat Kerajaan Mataram dengan ibu kotanya di Medhang Kamulan atau Sumedang Purwocarito atau Purwodadi. Pusat kerajaan itu kemudian berpindah ke sekitar kota Prambanan dengan sebutan Medang i Bhumi Mataram atau Medang Mat i Watu atau Medang i Poh Pitu atau Medang ri Mamratipura.
Pada masa kerajaan Medang dan Kahuripan, daerah Grobogan merupakan daerah yang penting bagi negara tersebut. Sedang pada masa Mojopahit, Demak, dan Pajang, daerah Grobogan selalu dikaitkan dengan cerita rakyat Ki Ageng Sela, Ki Ageng Tarub, Bondan Kejawan dan cerita Aji Saka.
Pada masa kerajaan Mataram Islam, daerah Grobogan termasuk Daerah Monconegoro dan pernah menjadi wilayah koordinatif Bupati Nayoko Ponorogo : Adipati Surodiningrat. Dalam masa Perang Prangwadanan dan Perang Mangkubumen, daerah Grobogan merupakan daerah basis kekuatan Pangeran Prangwedana (RM Said) dan Pangeran mangkubumi.
Wilayah Grobogan meliputi daerah Sukowati sebelah Utara Bengawan Solo, Warung, Sela, Kuwu, Teras Karas, Cengkal Sewu, bahkan sampai ke Kedu bagian utara (Schrieke, II, 1957 : 76 : 91 ). Daerah Sukowati ini kemudian sebagian masuk wilayah kabupaten Dati II Sragen antara lain : Bumi Kejawen, Sukowati, Sukodono, Glagah, Tlawah, Pinggir, Jekawal, dll. Daerah yang masuk wilayah Kab. Dati II Boyolali antara lain lain : Repaking, Ngleses, Gubug, Kedungjati selatan, Kemusu, dll.
Sedang daerah Grobogan yang kemudian termasuk wilayah Kabupaten Dati II Grobogan antra lain : Purwodadi, Grobogan, Kuwu, sela, Teras Karas, Medang Kamulan, Warung (Wirosari), Wirasaba (Saba), Tarub, Getas, dll.
Dalam pekembangan sejarah selanjutnya, atas ketentuan Perjanjian Giyanti (1755), sebagai wilayah Mancanegara, Grobogan termasuk wilayah Kasultanan bersama-sama dengan Madiun, separuh Pacitan, Magetan, Caruban, Jipang (Bojanegara), Teras Karas (Ngawen), Sela, Warung (Kuwu-Wirosari) (Sukanto, 1958 : 5-6).
Dalam perjanjian antara GG Daendels dengan PAA Amangkunegara di Yogyakarta, tertanggal Yogyakarta, 10 Januari 1811, ditetapkan, bahwa uang-uang pantai yang harus dibayar oleh Guperman Belanda di hapus. Kedua, kepada Guperman Belanda di serahkan sebagian dari Kedu (daerah Grobogan), beberapa daerah di Semarang, Demak, Jepara, Salatiga, distrik-distrik Grobogan, Wirosari, Sesela, Warung, daerah-daerah Jipang,dan Japan. Ketiga, kepada Yogyakarta diberikan daerah-daerah sekitar Boyolali, daerah Galo (?), dan distrik Cauer Wetan (?) (Ibid. : 77).
Pada masa Perang Diponegoro, daerah Grobogan, Purwodadi, Wirosari, Mangor (?), Demak, Kudus, tenggelam dalam api peperangan melawan Belanda (Sagimun MD, 1960
32, 331- 332).
Begitulah Grobogan, daerah yang selalu bergolak di sepanjang sejarahnya untuk menunjukkan identitasnya sebagai daerah yang penuh daya dan semangat untuk hidup bebas merdeka. Bahkan sampai masa pergerakan Nasional dan masa kemerdekaan dan sesudahnya, rakyat Grobogan Purwodadi sangat besar andilnya dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia.
B. DAERAH GROBOGAN DI AWAL SEJARAH
Berdasarkan isi dan pola penyajian, yang bersumber pada Serat Sindula atau serat Babad Pajajaran Kuda Laleyan dan Serat Witoradyo, cerita Aji Saka merupakan cerita legendaris, dimana di sana dimunculkan kepahlawanan seorang tokoh dalam lingkup Budaya Jawa (Schrike, Jl: 77; Raffles, 1978: 212).
Di lain pihak cerita Aji Saka juga merupakan cerita Mitologis, yaitu cerita yang bersangkut paut dengan kepercayaan asli masyarakat. Oleh karena itulah maka cerita dalam penyajiannya, cerita Aji Saka diciptakan dalam bentuk cerita “lambang” bagi penetrasi budaya Hindu di Jawa. Di sini cerita Aji Saka dapat dikelompokkan sebagai cerita yang mengandung unsur-unsur mesianis, yaitu karya penyelamatan umat manusia dari kehancuran. Aji saka sebagai Masias menghancurkan penguasa kejam: Dewata Cengkar. Beberapa data dari sumber tradisional juga terdapat dalam :
a. J. Kats, I, 1950: Punika Pepethikan saking Serat-serat Jawi Ingkang Tanpa Sekar. (Hal. 3-5).
Nyai Randa wicanten dhateng Aji Saka, “Negara kene wis misuwur yen ana Brahmana sekti mandraguna, bagus isih enom, limpad ing ngelmu panitisan, pingangkane saka Sabrang anga jawa”. Aji Saka gumujeng amangsuli, “Dora ingkang awartos puniko, angindhakaken ing kayektosanipun. Wondene ingkang kawartos puniko inggih kula”.
b. Primbon Jayabaya, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931: (hal. 10;27)
Jangaran jaman Kala Dwapara … Prabu Sindula, Galuh turun kapindho, jejuluk Sri Dewata Cengkar, angedhaton ing Mendhang Kamulan. Iku Ratu luwih niyaya, mangsa padha manungsa. Tan antara lama kasirnakake prajurit saka tanah Ngarab jejuluk Empu Aji Saka … Karsaning Pangeran Sang Aji Saka jumeneng Nata ing Sumedhang Purwacarita, jejuluk Sri Maha Prabu Lobang Widayaka.
c. Serat Jangka Jagad, Kwa Giok Jing, Kudus, 1957 : hal. 51.
Lha ing kono tanah Jawa banjur ana kang jumeneng nata kang karen mangan daging manungso, yaitu Ratu Dewata Cengkar, nata ing Medhang Kamulan. Ora lawas banjur ketekan sawijining Brahmana saka ing tanah Ngarab, juluk Aji Saka. Brahmana sekti mandraguna kang bisa ngasorake Prabu Dewata Cengkar …
d. RNG. Ronggowarsito, Serat Witoradyo, III. Surakarta: Albert Rusche & Co, 1922: hal. 11-23.
Diceritakan, bahwa di tanah Lampung berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya Prabu Isaka berasal dari tanah Hindu. Sang Prabu Isaka turun takhta dan digantikan oleh Patihnya bernama Patih Balawan. Kemudian dengan empat orang pengiringnya, Sang Isaka yang telah menjadi seorang Brahmana pergi ke tanah Jawa dan tiba di Ujung Kulon (Kulon ?). Di situ mendirikan perguruan dan dia sebagai gurunya dengan gelar Sang Mudhik Bathara Tupangku. Muridnya bertambah banyak. Di dalam perguruan itu diajarkan ilmu kesusastraan, ilmu penitisan (inkarnasi), dan ilmu keagamaan. Beberapa lama di Ujung Kulon, dia pergi ke Galuh dan kemudian terus mengembara ke tanah timur. Sampailah di negara Medhang Kamulan yang rajanya bernama Prabu Dewata Cengkar.
Dari kutipan di atas, kita ketahui bahwa Aji Saka adalah seorang raja yang kemudian meninggalkan takhta kerajaannya dan menjadi seorang Brahmana. Berarti dia adalah penganut agama Hindu. Sebab sebutan untuk Brahmana. Berarti dia adalah penganut agama Hindu. Sebab sebutan untuk Brahmana agama Budha adalah bhiksu. Tetapi dari data historis tokoh Aji Saka tidak pernah ada (hidup). Dengan demikian tokoh ini merupakan tokoh bayangan. Dia diadakan untuk menunjukkan adanya pengaruh Hinduisme dalam masyarakat Jawa. Kebetulan pada waktu itu keadaan masyarakat Mendhang Kamulan sedang resah. Kesempatan ini digunakan oleh Aji Saka (baca umat Hindu) untuk menyebarkan agama Hindu di masyarakat Mendhang Kamulan. Hal ini dikiaskan dalam lambang “desthar” (ikat kepala). Tradisi Jawa menggunakan ikat kepala. Sedang kepala adalah tempat otak, pikir, nalar. Di otak itulah tersimpan segala macam ilmu pengetahuan manusia. Ikat kepala tadi ketika ditebarkan (di jereng) dapat menutupi seluruh Wilayah Mendhang Kamulan. Di sinilah pengikut Prabu Dewata Cengkar harus mengakui kekalahan berebut pengaruh, dan harus menyingkir dari negeri Medhang (dikiaskan dengan menyeburkan diri ke laut menjadi seekor buaya putih).
Ketika Aji Saka menjadi raja, ditandai dengan sengkalan “nir wuk tanpa jalu” yang menunjukkan angka tahun 1000 Saka atau 1078 Masehi. Tahun Saka diciptakan berdasarkan peringatan penobatan Prabu Kanishka di India pada tahun 79 M = 1 Saka. Tahun Saka mengikuti peredaran Matahari. Di Jawa terdapat tradisi penggunaan sengkalan tersebut. Apabila menggunakan perhitungan tahun Matahari, disebut Surya Sengkala, dan bila menggunakan perhitungan peredaran Bulan di sebut Candra Sangkala. Lahirnya Candra Sangkala adalah sejak masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) menciptakan Tahun Jawa dengan perhitungan peredaran Bulan (sejak 1555 Saka atau tahun 1633 Masehi).
Sengkalan adalah perhitungan tahun yang diujudkan dalam bentuk rangkaian kata menjadi kalimat atau berupa gambar yang menunjukkan angka tahun. Kalimat itu harus menggambarkan keadaan pada waktu tahun itu. Tujuan untuk memperingati suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia dalam masyarakat dan bernegara.
Sengkalan dalam bentuk kalimat disebut Sengkalan Lamba, sedang sengkalan yang diujudkan dalam bentuk gambar atau benda, disebut Sengkalan Memet. Tiap kata dalam kalimat atau gambar diberi nilai yang berbeda-beda antara 0 (nol) sampai angka 9 (sembilan) dengan mengingat akan adanya guru dasanama, guru karya, guru jarwa, dan sebagainya.
Beberapa contoh Sengkalan Lamba antara lain :
Srutti Indriya Rasa : termuat dalam prasasti Canggal atau prasasti Gunung Wukir dari Rakai Sang Ratu Sanjaya. Berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi, merupakan Sengkalan tertua yang pernah kita temukan.
Nayana Wayu Rasa : termuat dalam prasasti Dinaya dari raja Gajayana di “Candi Badut” dekat Malang. Sengkalan itu berangka 682 Saka atau 760 Masehi.
Nir Wuk Tanpa Jalu : termuat dalam Serat Kanda, berangka tahun 1000 Saka atau 1078 Masehi. Merupakan tahun penobatan Aji Saka jadi raja di Medhang Kamulan dengan gelarnya Prabu Jaka atau Empu Lobang Widayaka.
Sirna Hilang Kertaning Bumi : termuat di dalam Serat Kanda, berangka Tahun 1400 Saka ? Tahun 1478 Masehi. Sebagai pertanda keruntuhan Keprabuan Mojopahit.
Beberapa contoh Sengkalan Memet :
Di atas Panggung Sanggabhuwana yang terletak di halaman dalam istana Kasunanan Surakarta, terdapat bentuk ular naga bersayap yang dinaiki oleh manusia. Bila dibaca berbunyi : Naga Muluk Tinitihan Janma, berangka tahun 1708 Jawa atau 1781 Masehi.
Panggung tersebut dapat pula dibaca : Panggung Luhur Sangga Bhuwana. Artinya: panggung = pa agung bernilai 8; luhur bernilai 0 (nol); Sangga adalah perkumpulan para pendeta Budha bernilai 7 (tujuh); dan bhuwana bernilai 1 (satu), jadi 1708 Jawa atau 1781 Masehi. Atau dapat pula di baca : pa-agung (8); song (9); ga angka Jawa bernilai 1 (satu); bhuwana bernilai 1 (satu). Jadi 1198 Hijrah atau 1781 Masehi. Sengkalan ini sebagai peringatan pembuatan panggung tersebut.
Di dalam wayang kulit purwa terdapat wayang Bathara Guru naik di atas hewan Lembu Nandini. Di baca : Sarira Dwija Dadi Ratu. Bernilai 1478 Saka atau 1556 Masehi, ialah peringatan ketika Sultan Demak membuat wayang kulit purwo sebagai sarana dakwah Islam.
Ketika Sultan Agung membuat wayang kulit purwo, maka dibuatlah wayang kulit Buta Rambut Geni yang merupakan sengkalan pula. Bila dibaca : Jalu Buta Tinata Ing Ratu. Bernilai tahun 1553 Saka atau 1631 Masehi.
Di atas telah disinggung sengkalan Nir Wuk Tanpa Jalu. Sengkalan ini dihubungkan dengan waktu penobatan Aji Saka menjadi raja di Medhang Kamulan setelah dapat mengalahkan Prabu Dewata Cengkar. Bukti sejarah berupa prasasti misalnya, tidak kita temukan. Dari kenyataan sejarah, Tahun 1078 Masehi, pusat kerajaan berada di Jawa Timur sekarang, atau di daerah Manca Nagari zaman kerajaan (daerah Grobogan?), yaitu kerajaan Mendhang dan Kahuripan zaman Mpu Sendok dan Airlangga. Atau dapat juga pada masa Kerajaan Jenggala, Panjalu, Ngurawan dan Singasari, empat sekawan yang berdiri bersama sebagai hasil pembagian wilayah pada masa akhir pemerintahan Raja Airlangga.
Secara geografis, sekarang wilayah Grobogan memang terletak di daerah Propinsi Dati I Jawa Tengah. Namun pada waktu itu negara medhang tidak terletak di Bumi Mataram (Kedu), tetapi di luarnya, yang pendapat umum ditafsirkan di daerah Jawa Timur.
Pada Tahun 1078 M terdapat keturunan raja Airlangga yang berkuasa, yaitu Sri Maharaja Sri Garasakan serta Sri Maharaha Mapanji Alanyung Ahyes. Sudah barang tentu tokoh Aji Saka tidak dapat disamakan dengan masa Airlangga dan sesudahnya berdasarkan data-data sejarah yang ada, tidak terjadi perebutan pengaruh agama, tetapi memang ada gejala perebutan kekuasaan politik. Hal ini dikiaskan dalam cerita Panji Panuluh. Justru perebutan pengaruh di bidang keagamaan terjadi di masa Mataram, yaitu masa Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra berbarengan berkuasa di Mataram. Dinasti Sanjaya menganut Agama Hindu, sedang dinasti Syailendra menganut agama Budha Mahayana. Masa perebutan pengaruh itu tampak jelas pada masa Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya) dan Samarottungga Balaputera (Dinasti Syailendra). Taktik yang digunakan oleh Pikatan untuk memperoleh pengaruh yang lebih besar adalah dengan cara : dia kawin dengan salah seorang puteri Syailendra, kakak Balaputera, yaitu Ratu Prarnodhawardani atau Sri Kahulunan. Peperangan antara Rakai Pikatan melawan Balaputera memang terjadi berdasarkan prasasti Ratu Baka (856 M = 778 Saka : Wulong Gunung Sang Wiku). Perang diakhiri dengan kemenangan di pihak Rakai Pikatan (Hindu). Sedang agama Budha (Balaputera) dalam peristiwa tersebut kalah dan menyingkir ke Swarnadwipa (Sumatra) dan menjadi raja Sriwijaya tempat penyebaran agama Budha di Asia Tenggara.
Atas dasar kenyataan sejarah tersebut, maka cerita Aji Saka harus ditafsirkan sebagai ceritera lambang yang sangat kuat mengandung unsur mitologis.
Kita ketahui, bahwa Sengkalan Nir Wuk Tanpa Jalu, arti harafiahnya adalah Hilang Rusak Tanpa Susuh (ayam jantan) atau Hilang Rusak Tanpa Kekuatan Laki-Laki. Maksudnya negara atau masyarakat kacau tanpa kekuatan laki-laki. Maksudnya negara atau masyarakat kacau tanpa kekuatan, karena tenaga laki-laki “dimakan” oleh Dewata Cengkar, sebagai kias bagi mereka yang diperkerjakan untuk membangun bangunan suci berupa candi-candi yang tidak sedikit jumlahnya. Misalnya: candi Borobudur, Pawon, mendhut, Sari, Kalasan, Sewu, Ratu Baka, dll. Inilah gambaran masa akhir bagi kerajaan Medhang di bhumi Mataram!
Sekarang dimanakah letak Kerajaan Medhang Kamulan itu?
Perkataan Medhang (Mendhang) Kamulan terdiri dari dua kata: Medhang dan Kamulan. perkataan Medhang (Mendhang) berarti “ibu kota”. Buktinya :
Prasasti Kedu (Mantyasih) yang lebih dikenal dengan nama Prasasti Balitung, bertahun 907 M ditemukan di desa Kedu. Antara lain menyebutkan : “rahyang tarumuhun ri Medhang ri Poh Pitu”. (Slamet Mulyono, Sriwijaya: hal. 147). Artinya pembesar- pembesar terdahulu yang memerintah di Medhang Poh Pitu, atau
pembesar-pembesar yang memerintah terdahulu yang beribu kota di Poh Pitu.
Prasasti Tengaran (Jombang, Jawa Timur) memindahkan Ibu kota Mendhang dari Poh Pitu ke Mamratipura, dan raja Wawa mengatakan ibukotanya “ri Mendhang ri Bhumi Mataram”, artinya “di Medhang di Bumi Mataram”. Dan nama ibukota ini dalam prasasti Tengaran tersebut disebut pula “Medhang i Bumi Mat i Watu” yang artinya “Ibukota di Bhumi Mat i Watu” (Caspaaris, I, 1950 : hal. 39-42).
Jadi jelas bahwa Medhang menjadi ibukota kerajaan Mataram, kota ini sebagai “kuthagara”nya di Mataram.
Sedang Kamulan berasal dari kata dasar “mula” mendapatkan awalan “ka” dan akhiran “an”, membentuk kata benda. Arti “mula” adalah awal, asal, atau akar. Untuk memperoleh penjelasan tentang “mula” tersebut, perlu dikemukakan contoh-contoh yang diajukan oleh Casparis dalam Prasasti Indonesia I (1950).
Batu dari Siman, Kediri (OJO 28) menyebutkan beberapa kali “Sang Hyang Dharma Kamulan”, yang artinya “Mula Sang Hyang Dharma” Maksudnya adalah “pendahlu yang telah tiada, atau sebuah tempat pemakaman nenek moyang”. Selanjutnya dalam Prasasti Singasari disebutkan (OJO 38) “apan ngakai gunung wangkali kamulan Kahyangan ia pangawan” yang artinya “sebab inilah gunung Wangkali dari Kahyangan di Pangawan”. Jadi disini kata “mula” berhubungan dengan “gunung suci?, pendahulu, cikal bakal aatau suci.
Dalam Prasasti Karangtengah (824 M) diceritakan bahwa Ratu Puteri Pramodhawardhani (Sri Kahuluan dan Prasasti Sri Kahuluan th 842) mendirikan “Kamulan” di Bhumi Sambhara (Budhara) atau bangunan suci Borobudur. Di sini arti “Kamulan” adalah makam nenek moyang dan tempat pemujaan.
Dari penjelasan di atas kita dapat menduga mungkin yang dimaksudkan dengan kata “mula” di sini adalah “asal, cikal bakal, awal atau permulaan kejadian.” Jadi Medhang Kamulan berarti ibukota yang mula pertama atau asal kejadian.
Sekarang timbul pertanyaan: Di manakah letak ibukota tersebut? melihat sebutan- sebutan ibukota seperti Medhang i Poh Pitu, Medhang i Mat i Watu, Medhang ri Mamratipura, ri Medhang ri Bhumi Mataram, menimbulkan kesan pada kita, bahwa agaknya ibukota tersebut selalu berpindah-pindah tempat, sebab mungkin terdesak oleh penguasa lain, bencana alam dan lain-lain. Sehingga ibukota kerajaan : Mojopahit : dari Mojopahit ke Sengguruh; dari Mojopahit ke Bintara, Demak; Mataram : dari Kerta ke Plered; dari Plered ke Wanakerta atau kartosuro, dan dari Kartosuro berpindah ke Surakarta, dan sebagainya.
Beberapa ahli menunjuk letak kota Medhang sebagai berikut :
Di sekitar Prambanan, sebab disitu banyak peninggalan sejarah berupa candi. Maka disitu pulalah pusat ibukota kerajaan Medhang. Inilah pendapat Krom, (1957 : 40 ). Juga dalam cerita Bandung Bandawasa berperang dengan Prabu Baka di Prambanan dan cerita terjadinya Candi Sewu dan Candi Lara Jonggrang berlokasi di Prambanan. (Ranggawarsito, III, 1922).
Letaknya di Purwodadi, daerah Grobogan, sebab di situ terdapat desa Medhang Kamulan, Kesanga, dan sebagainya yang berkaitan dengan Ceritera Aji Jaka Linglung. Serta di desa Kesanga terdapat puing-puing bekas istana kerajaan yang diduga bekas istana kerajaan Medhang. (Raffles, 1978).
Pendapat purbacarka dalam bukunya “Enkele Oud platsnamen” dalam TBG, 1933, menyatakan bahwa letak Medhang Kamulan di sekitar Bagelen (Purworejo), sebab di daerah itu terdapat desa bernama Awu-awu langit dan desa Watukura. Dyah Watukura adalah nama lain bagi Balitung, salah seorang keturunan Raja Sanjaya. Desa Awu-awu langit artinya mendung atau Medhang.
Dari beberapa pendapat tersebut, yang jelas bahwa ibukota kerajaan Mataram selalu berpindah-pindah. Sebagai ibukota permulaan adalah Purwodadi, daerah Grobogan, kemudian berpindah ke sekitar Prambanan, kemudian berpindah ke daerah Kedu Bagelen, dan berpindah ke Prambanan lagi, baru sesudah itu berpindah ke Jawa Timur.
Alasan menentukan ibukota pertama di Purwodadi adalah :
“Purwa” berarti “permulaan” (Jawa: kawitan). “Dadi” artinya “jadi” (Jawa : Dumadi). Yang mula-mula jadi, purwaning dumadi, sangkan paraning dumadi. Hal ini dikaitkan dengan ceritera Aji Saka dengan Carakan Jawanya yang mengandung hidup, dan kehidupaan manusia “Manunggaling Kawula Gusti”, dari sejak asal mula manusia di dunia ini.
Bila kita tinjau letak geografisnya, memang lebih sesuai, sebab didaerah tersebut mudah mencari air, padahal setiap makhluk membutuhkan air. Daerah ini memanfaatkan air sungai Lusi dan beberapa anak sungainya untuk lalu lintas, pengairan kebutuhan hidup sehari-hari. Lagi puia daerah ini tidak jauh dari laut, bahkan mungkin terletak di tepi pantai Laut Jawa.
Di dalam Primbon Jayabaya (hal.27) dikatakan bahwa Aji Saka naik takhta di negara Sumedang Purwacarita. Perkataan “Sumedhang” di sini bukanlah kota Sumedang di Jawa Barat sekarang, tetapi dimaksudkan kota Medhang yang sangat baik. Jadi Sumedang Purwacarita artinya ibukota Medhang yang sangat baik bagi (negara) Purwacarita. Purwa berarti permulaan; carita berarti cerita, kejadian, purwaning dumadi, sangkan paraning dumadi. Dengan demikian Sumedhang Purwacarita identik dengan Medhang (Mendhang) Kamulan yang lahir di Mataram (negeri ibu, ibu pertiwi) yang pertama kali.
Selanjutnya bagaimana cerita tentang Grobogan ?
Menurut cerita tutur yang beredar di daerah Grobogan, suatu ketika pasukan Demak di bawah pimpinan Sunan Ngudung dan Sunan Kudus menyerbu ke pusat kerajaan Mojopahit. Dalam pertempuran tersebut pasukan Demak memperoleh kemenangan gemilang. Runtuhlah kerajaan Mojopahit. Ketika Sunan Ngundung memasuki Istana, dia menemukan banyak pusaka Mojopahit yang ditinggalkan. Benda-benda itu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam sebuah grobog, kemudian dibawa sebagai barang boyongan ke Demak.
Peristiwa tersebut sangat mengesankan hati Sunan Ngudung. Sebagai kenangan, maka tempat tersebut diberi nama Grobogan yaitu tempat berupa grobog.
Di atas dijelaskan, bahwa grobog adalah sebuah kotak persegi panjang yang digunakan untuk menyimpan uang atau barang yang dibuat dari kayu. Kadang-kadang berbentuk bulat, agar mudah membawanya dan dengan cepat dapat diselamatkan apabila ada bahaya mengancam, misalnya bahaya kebakaran. Tetapi grobog juga dapat berarti kandang yang berbentuk kotak untuk mengangkut binatang buas (misalnya: harimau) hasil tangkapan dari perburuan. Grobog tersebut dapat juga digunakan sebagai alat penangkap harimau. Grobog ini biasa disebut Grobog atau bekungkung (bila kecil disebut: jekrekan untuk menangkap tikus) (Geriecke dan Roorda, 1901 : 569).
Dari penjelasan diatas, Grobogan berasal dari kata Grobog yang dalam salam ucapnya menjadi “grogol”. yaitu alat penangkap binatang buas. Di Kotamadya Surakarta terdapat kampung bernama Grogolan, yang dahulu tempat mengumpulkan harimau hasil perburuan (digrogol atau dikrangkeng). Di perbatasan Kotamadya Surakarta dengan Kab. Dati II Sukoharjo terdapat desa yang bernama desa Grogol, Kec. Grogol, ialah daerah perburuan Sunan Surakarta dan Pajang pada zaman kerajaan.
Sejalan dengan penjelasan di atas maka Grobogan adalah sebuah daerah yang digunakan sebagai daerah perburuan. Dan ternyata daerah ini merupakan daerah perburuan Sultan Demak (Atmodarminto, 1962 : 119) atau merupakan daerah persembunyian para bandit dan penyamun zaman Kerajaan Demak Pajang (Atmodarminto, 1955 : 123). Pada zaman Kartasura daerah ini merupakan daerah tempat tinggal tokoh-tokoh gagah berani dalam berperang (Babad Kartosuro, 79), misalnya : Adipati Puger, Pangeran Serang, Ng. Kartodirjo, dan lain-lain.
Samana jeng Suitan karsa lelangen, amburu sato ing wanadri, Trenggono kadherekaken para abdi, mring Sela wus laju maring anggrogol sato wana. (Admadarminto, 1062 : 19).
Dalam abad XIX daerah Grobogan merupakan daerah persembunyian para pahlawan rakyat penentang kekuasaan kolonial Belanda, bersama-sama dengan daerah Sukowati. Daerah ini sangat cocok sebagai daerah persembunyian, karena merupakan daerah hutan jati yang lebat dan berbukit-bukit.
C. GROBOGAN PADA MASA MOJOPAHIT, DEMAK-PAJANG, MATARAM DAN SURAKARTA
1. Masa Mojopahit.
Negara Mojopahit didirikan oleh Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana bersama kawan-kawannya dengan bantuan Arya Wiraraja atau Banyak Wide dari Sumenep, Madura. Lokasi istana di hutan Tarik yang kemudian di ubah menjadi sebuah ibukota kerajaan Mojopahit yang megah. Dewasa ini lokasi bekas Kotaraja Mojopahit itu terletak di desa Trowulan, daerah Kabupaten Dati II Mojokerto, Jawa Timur.
Dalam perkembangan selanjutnya kerajaan Mojopahit mengalami masa keemasan pada masa Prabu Hayam Wuruk Sri Rajasanegara (1350-1389) dengan Patih Hamangkubumi Gajah Mada. pada masa Prabu Rajasanegara itu wilayah kerajaan Majapahit meliputi seluruh Nusantara. Daerah-daerah di Jawa, setelah Kerajaan Pasundan ditakhlukkan atas siasat Gajah Mada, (peristiwa Bubat, 1357) seluruhnya tunduk di bawah duli Keperabuan Mojopahit. Teknik penguasaan daerah dilakukan dengan teknik perkawinan politik, perang, atau penempatan salah seorang anggota keluarganya di daerah Lasem, Tuban dan sekitarnya. Bhre Daha (Dahanpura) menguasai daerah Kediri, Blitar, Caruban, Sengguruh, dan sekitarnya. Bre Paguhan menguasai daerah Paguhan, Japan, Lamongan, Pasuruan dan sekitarnya. Bre Pajang menguasai daerah Pajang, Sukowati, Tarub, Medhang Kamulan, Jipang dan sekitarnya. Dengan demikian daerah Grobogan menjadi daerah yang penting pada masa Mojopahit.
Ketika sinar kekuasaan Keprabuan Mojopahit mulai suram, daerah-daerah keluarga raja tersebut mulai banyak yang memisahkan diri dari pusat kerajaan. Hanya daerah Grobogan yang masih tetap setia kepada pemerintah pusat Mojopahit. Ini terbukti bahwa : Buyut Masharar di desa Getas menjadi “juru sabin sang Prabu”; Ki Ageng Tarub menjadi orang kepercayaan Sang Prabu Brawijaya yang penghabisan. Daerah Getas, Tarub, Medhang Gati, Medhang Kana, Medhang Tantu dan beberapa desa di sekitarnya dijadikan daerah penghasil padi untuk kepentingan istana. Bahkan Raja mempercayakan puteranya : Bondan Kejawen untuk diasuh oleh Ki Buyut Mashahar dan berguru kepada ki Ageng Tarub (kidang Telangkas).
Di lain pihak kelemahan kekuasaan raja mendorong raja-raja daerah yang lain, terutama daerah pantai untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mojopahit. Daerah-daerah pantai beberapa diantarannya Gresik, Tuban, Lasem, Jepara dan lain-lain. Pada 1437, saudara Hayam Wuruk, yakni Bre Daha atau Dahonopuro melepaskan diri dari Mojopahit. Dohopuro dapat menguasai Madiun, Jagorogo, Pajang, Bojonegoro, Caruban serta beberapa daerah di Grobogan (Raffles, 1978 : 80-83).
Kerajaan ini bertekad akan mendirikan negara Mojopahit baru. Dyah Ronowijoyo mendirikan keluarga Girindrawardhana, yang kemudian berpusat di Keling sebelah timur laut Kediri (Daha). Dia menjadi raja di Keling 1474 dan pada Tahun 1478 dapat meruntuhkan kekuasaan kerajaan Mojopahit. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan yang berbunyi “sirna hilang kertaning bhumi”, yang bernilai 1400 Saka atau 1478 Masehi. Sebagai raja, Dyah Ronowijoyo mengambil gelar: Paduka Sri Maharja Sri Wilwatikta Pura Janggolo Kediri, Prabhunoto Sri Girindrawardhana nama Dyah Ranawijaya, yang berarti Sri Maharaja yang bersemayam di Keraton Mojopahit Sang Prabu Jenggolo dan kediri Sri Baginda Girindrawardhana nama Dyah Ranawijoyo. (Muh Yamin, 1958 : 235).
Keruntuhan Mojopahit tidak berarti hancur sama sekali sebab sampai tahun 1486 masih ada berita tentang adanya kerajaan Majapahit yang berpusat di Sesungguruh. Muh Yamin memperkirakan lenyapnya Kerajaan Mojopahit sekitar Tahun 1525, yaitu setelah diserbu oleh pasukan koalisi Islam dari Demak. Sejak itu wahyu kerajaan Mojopahit berpindah ke Demak.
Patih Gajah Pramada atur uninga ing Sang Prabu, bilih Adipati Bintara salabanipun sampun nglenggahi pagelaran. Sang Prabu sabalipun nunten oncat saking kedhaton. Kala meratipun Prabu Brawijaya wau ing sakala ugi wonten ingkang katingal kados ndaru medal saking kedathon, kados kilat, swaranipun gumudlug nggeririsi, dhumawah ing Bintara. (Allthoff, 1941 : 30).
Dengan peristiwa “sirna hilang kertaning bhumi” tersebut banyak kaum kerabat dan putra-putri raja menyingkir keluar dari Mojopahit. Sebagian menyingkir ke sekitar Gunung Lawu. Di sini membangun Candi Sukuh dan Ceta sebagai pernyataan penyerahan diri kepada Tuhannya. Putra-putra Prabu Brawijaya : ada yang sampai di Ponorogo dan mengangkat diri sebagai raja dan gelarnya : Bathara Katong Ponorogo. Sedang yang lain bernama Raden Guntur atau R. Gugur menyingkir ke Gunung Lawu, dan biasa disebut Sunan Lawu. Sedang yang lain lagi mengungsi ke daerah Sela, Tarub, Getas dan Pajang.
Perlu diketahui bahwa Prabu Brawijaya Penghabisan mempunyai beberapa orang isteri, yaitu :
Endang Sasmitapura atau Endang Sasmitawati, seorang puteri raksasa, berputera Jaka Dilah atau Arya Dilah atau Arya Damar, diangkat menjadi Bupati di Palembang.
Puteri Cina Liem Kim Nio, yang ketika sedang mengandung “ditrimakake” kepada Arya Damar. Dari kandungannya itu lahirlah Raden Timbal atau R. Patah, raja dan pendiri kerajaan Demak dengan gelarnya Panembahan Jimbun atau Sri Sultan Ngalam Akbar. Raja ini telah menganut agama Islam dan berpusat di Bintara Demak dan mendapatkan dukungan kuat dari para wali (Wali Sanga).
Putri Drarawati, berputera puteri yang dikawinkan dengan Raden Jaka Sengara, putera Ki Bajul Sengara, raja buaya. Jaka Sengara mendapatkan hadiah puteri tersebut karena dia dapat mengalahkan pemberontak Menak Dali Pethak dari Blambangan. Sebagai hadiahnya dia diberi seorang puteri dan diangkat sebagai Adipati Pengging dengan gelarnya Pangeran Adipati Handayaningrat atau Adipati Dayaningrat. Adipati Dayaningrat berputera Ki Kebo Kanigara dan Ki kebo Kenanga. Ki Kebo Kenanga berputera mas Karebet atau Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, pendiri kesultanan Demak di Pajang.
Puteri Wandan Kuning, berputera Bondan Kejawen atau Lembu Peteng atau Ki Ageng Tarub II. Bondan Kejawen kawin dengan Nawangsih, puteri Ki Ageng Tarub I dengan Dewi Nawang Wulan. Perkawinan Lembu Peteng dengan Nawangsih berputera Ki Ageng Enis-berputera Ki Ageng Pemanahan-berputera Sutawijaya atau Mas Ngabehi Loring Pasar atau Panembahan Senapati, raja pertama Kerajaan Mataram.
Dari silsilah tersebut ternyata, bahwa dari daerah Grobogan (Getas, Sela) lahirlah tokoh- tokoh yang menjadi nenek moyang raja-raja Demak, Pajang, dan Mataram. Maka tidaklah aneh apabila raja-raja Surakarta dan Yogyakarta menaruh perhatian besar terhadap daerah Grobogan, khusunya daerah yang dahulu menjadi milik kerabat Sela. Hal ini terbukti pula bahwa pada ketentuan perjanjian Giyanti 1755 daerah Grobogan masuk kedaerah Kesultanan Yogyakarta. Sampai sekarang Makam Ki Ageng Sela di Desa Sela masih dalam pengawasan dan pemeliharaan Kasultanan Yogyakarta.
2. Masa Demak dan Pajang
Sementara keperabuan Mojopahit mengalami disintragasi, dinasti Girindrawardhana dapat merebut takhta kerajaan pada Tahun 1486 M. Raja dari dinasti ini bernama Paduka Sri Maharaja Sri Wilwatikta Pura Jenggolo Kadiri Prabunatha Sri Girindrawardhana nama Dyah Ronowijoyo (Muh Yamin, 1958: II : 235). Nama ini berarti Sri Maharaja yang bersemayam di Keraton Mojopahit Sang Prabu Jenggolo Kadiri Sri Baginda Girindrawardhana nama Dyah Ronowijoyo.
Walaupun pada Tahun 1486 itu Mojopahit masih ada rajanya, namun mereka sudah tidak mampu lagi mengembalikan masa Kejayaan Mojopahit seperti pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Hal ini disebabkan, disamping ada beberapa daerah yang memerdekakan diri, juga pada masa itu agama Islam telah melebarkan sayap pengaruhnya di Jawa. Tokoh-tokoh seperti Ki Buyut Masharar, Ki Ageng Tarub, Raden Rachmat di Ampel, Puteri Cempo adalah toko-tokoh Islam yang sudah mulai memasuki istana. Kota-kota di pantai utara Jawa sudah banyak yang masuk Islam, misalnya : Giri, Gresik, Ampel, Leran, Lasem, Jaratan, Tuban, Sidayu, Bintoro, dan sebagainya. Kota-kota ini tidak mau lagi mengabdi kepada raja Mojopahit yang beragama Hindu.
Dalam keadaan disintegrasi masyarakat inilah, maka para Guru Agama (Islam) berperanan penting dalam penyebaran agama Islam itu. Mereka itu adalah para wali dan di Jawa terkenal adanya “Wali Songo”. Secara bertahap Islam mulai memasuki daerah pedalaman, wilayah Mojopahit. Agama ini berkembang dengan baik di daerah-daerah perdikan, misalnya: di Sela, Tarub, Getas, Tal Pitu, Jenar, Banyubiru, Tingkir, Pengging Ngerang dan lain-lain. Daerah-daerah Ki Buyut dan Ki Ageng merupakan mandala perguruan Islam yang animistis.
Dari daerah-daerah itulah bekembang agama Islam Kejawen. Guru dan murid-muridnya kemudian menjadi tokoh-tokoh penting pada masa Pajang dan Mataram. Disamping daerah teersebut menjadi daerah Demak dan kemudian daerah Pajang, termasuk di dalamnya adalah daerah-daerah Jipang, Tuban, Jepara, Juanan, Kudus, Cengkal Sewu, Grobogan dan lain-lain.
Dari kenyataan di atas, jelas bahwa Grobogan sekarang ini sebagian terbesar termasuk wilayah kekuasaan Demak dan kemudian Pajang. Bahkan pada masa Pajang, kerabat dari Sela yang berada di Pajang, yaitu Ki Ageng Enis, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi (putra angkat Ki Ageng Sela), ikatan kerabat dari sela tersebut dengan Pajang bertambah erat dengan diangkatnya putera Ki Ageng Pamanahan, yaitu Raden Bagus (atau Bagus Srubut) yang dalam Serat Kanda di sebut Raden Mas Danang, menjadi putera angkat Sultan Pajang Hadiwijaya.
Putera angkat itu diberi nama Sutowijoyo, dan karena tempat tinggalnya di sebelah utara pasar Pajang maka disebut Mas Ngabehi Loring Pasar. Pengangkatan ini dimaksudkan sebagai “lanjaran” agar Sultan segera memperoleh putera sendiri dari permaisuri (Meinsma, Babad: 48; Altoff, Babad: 51). Tindakan Sultan inilah yang kemudian mengakibatkan bahwa antara Sela dan Lawiyan serta kemudian Mataram bersatu menentang Pajang. Lawiyan adalah tempat Ki Ageng Enis, yang oleh Sultan dari Sela dipindahkan ke Pajang dan disebut ki Ageng Lawiyan.
Daerah Jipang (Bojonegoro dan Blora) diperoleh Pajang setelah Sultan dapat membunuh Harya Panangsang, penguasa di Jipang. Pembunuh Haryo Penangsang adalah empat serangkai dari Sela, yaitu Pamanahan, Panjawi, Juru Martani dan Sutowijoyo. Sebagai hadiahnya maka Pamanahan memperoleh bumi Mataram, dan Panjawi memperoleh daerah Pati. Sedang Juru Martani dan Sutawijoyo ikut Pamanahan. Juru Martani menjadi Patih Sultan dan nantinya menjadi Patih Senopati (Sutowijoyo) di Mataram dengan gelarnya Adipati Mandaraka.
Daerah lain yang juga di bawah pengaruh Pajang adalah Kalinyamat atau daerah Prawata, yang dengan suka rela oleh Ratu Kalinyamat diserahkan ke Sultan Pajang yang dapat membunuh musuh utamanya : Harya Panangsang.
3. Masa Mataram
Timbulnya kerajaan Mataram bukanlah karena kepercayaan adanya riwayat, kaol, ramalan atau kepercayaan akan adanya wahyu keraton, yang ditujukan untuk memuliakan keturunan Ki Ageng Sela atau atas diri Sutowijaya, akan tetapi sangat diwarnai oleh adanya pertentangan paham kepercayaan yang membutuhkan perpindahan pusat kerajaaan dari Demak ke Pajang dan Ke Mataram.
Mula-mula, Mataram hanyalah sebuah “petinggen” dengan petingginya Ki Ageng Pamanahan dengan sebutannya Ki Ageng Mataram. Daerah ini diperoleh sebagai hadiah dari Sultan Pajang karena dapat membunuh Harya Panangsang dari Jipang.
Selanjutnya Ki Ageng mataram digantikan oleh Putranya Sutowijoyo atau mas Ngabehi Loring Pasar, dengan pangkat Bupati. Desa Mataram di Kutha Gede segera dibangun menjadi sebuah kota berbenteng yang kuat. Daerah Sela, Tarub, Getas, warung dan sekitarnya menjadi daerah “pamijen” Mataram (Almanak, 1921:65). Perbuatan Senopati ini menimbulkan amarah Sultan Hadiwijaya, sebab sudah begitu besar kasih kepadanya, tetapi pembalasannya sangat tidak seimbang.
Di lain pihak, tindakan Sutowijoyo (Senopati) menimbulkan rasa iri pada Harya Pangiri, Putera Sunan Prawata dan menantu Sultan yang merasa kalah berebut kasih dari Sultan. Padahal Sutowijoyo hanyalah keturunan “wong cilik” dari Sela. Dilain pihak pula tindakan Sutowijoyo juga membuat tidak senangnya Bupati Tuban, menantu Sultan Hadiwijaya yang lain, karena Sutowijoyo menciptakan saingan terhadap Pajang, Jipang dan Tuban.
Gelagat yang tidak baik ini juga dirasakan oleh Sultan. Sebagai orang tua, sedapat mungkin Sultan berusaha mencegah timbulnya perselisihan. Tetapi perselisihan tetap terjadi setelah terjadinya peristiwa Tumenggung Mayang, menantu Ki Ageng Pamanahan serta pembunuhan seorang utusan dari Banten oleh Raden Rangga, putera Sutowijoyo di Mataram. Akhirnya mataram diserbu oleh pasukan gabungan Pajang, Jipang dan Tuban. Tetapi serbuan tersebut tidak berhasil. (M. Atmodarminto, 1955 : 349-353 ; Alamanak, 1921: 90-91). Setelah penyerbuan tersebut, Sultan jatuh sakit, kemudian mangkat dan makamkan di desa Butuh Kuyang tahun 11582 (M. Atmodarminto, 1961 : 303-304).
Dengan kemangkatan Sultan Hadiwijoyo, keadaan politik Jawa semakin tegang. Antara Sutowijoyo dengan pangeran Benowo, putera Sultan di satu pihak, berhadapan dengan Harya Pangiri dan Bupati Tuban di pihak lain. Mataram memperoleh dukungan dari para Buyut, Ki Ageng serta Sunan Kalijogo dan tokoh-tokoh pedalaman yang lain, sedang Harya Pangiri dan bupati Tuban mendapatkan dukungan dari para wali yang lain serta penguasa pantai.
Tentang kemangkatan Sultan Hadiwijoyo, di dalam Babad Mataram dikatakan bahwa pembunuh Sultan adalah Juru Taman, abdi Sutowijoyo. Demikian bunyinya :
Juru Taman pan sampun kadugi, ing karsane wau gustinira, tur sembah umesat age, Prapteng Pajang kadhatyn, kanjeng Sultan kapangggih linggih, gaya binithi jajanya, Sultan datan emut, apan samya tinangisan, ingkang garwa putra-putri samya anjrit, kagyat wungu jeng Sultan. (M. Atmodarminto, 1961:305).
Selanjutnya keputusan para wali, Harya Pangiri menggantikan kedudukan Sultan sebagai raja Pajang. Tahun 1586 dia dihancurkan oleh pangeran Benowo dengan bantuan Sutowijoyo. Jadi Harya Pangiri berkuasa di Pajang selama empat tahun (1562-1586). Kemudian dia dikembalikan ke Demak sebagai Bupati yang berada di bawah perintah Pajang/Mataram.
Selanjutnya atas kerelaan Benowo, kekuasaan Pajang diserahkan kepada Sutowijoyo di Mataram. Dengan demikian Pajang berada di bawah kuasa Mataram. Maka berakhirlah Kesultanan Pajang. Dengan demikian daerah-daerah Jipang, Sela, Teras Karas, Wirasari, Santenan (Cengkal Sewu), Demak, Kedu, dan Grobogan menjadi daerah Mataram.
Beberapa waktu kemudian Sutowijoyo sebagai penguasa Mataram menggunakan gelar Panembahan Senopati ing Alaga Ngabdurrachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Daerahnya diperluas ke Madiun, Ponorogo, Kediri, Surabaya, Begelen, Blora, Lasem, dan beberapa daerah di Bojonegoro (Jipang).
Terhadap Pati, Senopati mengangkat Adipati Pragola atau Adipati Joyokusumo sebagai bupati. Adipati Pragola adalah anak Panjawi, cucu Ki Ageng Ngerang. Tetapi ketika Senopati beristerikan puteri Retnodumilah, putera Adipati Madiun, Adipati Pragola tidak senang hatinya.
Sebab isteri pertama adalah kakak Adipati Pragola, dan sudah berputera Mas Jolang, sebagai Putera Mahkota. Dia khawatir, jangan-jangan Senopati akan mencabut hak putra mahkota itu bila Retnodumilah berputera. Oleh karena itu Adipati Pragola pulang ke Pati dan melakukan pemberontakan. Daerah Santenan, Cengkal Sewu, Warung, Blora, Jipang dan Grobogan diserbu dan dijadikan daerah Pati. Tetapi pemberontakan tersebut segera dapat ditindas oleh Senopati, dan Pati dijadikan daerah Mataram.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645), Adipati Pragola II dari Pati berontak pula kepada Mataram. Dia dihasut oleh T. Endranata. Tetapi gagal. Adipati Pragola gugur dibunuh oleh Ng. Nayadrana. Sedang T. Endranata ditangkap dan dibunuh. (Althoff, 1941: 57-59) Kemudian untuk daerah Pati ditempatkan T. Mangunoneng sebagai Bupati yang menguasai daerah-daerah Pati, Santenan, Sela, Jipang, Blora, Warung, Grobogan, dan Demak.
Sultan Agung digantikan oleh Sunan (Amangkurat I : 1645-1676). Tahun 1646 Sunan mengadakan perjanjian dengan Kumpeni belanda. Tindakan Sunan inilah yang menjadi awal mula Mataram secara berangsur-angsur jatuh di bawah kuasa Kumpeni Belanda. Maka banyak bangsawan yantg tidak senang. Kemudian mereka melakukan pemberontakan di bawah pimpinan Panembahan Kajoran, dan Raden Trunojoyo seorang pemuda dari Madura.
Dalam penyerbuannya R Trunojoyo dapat menduduki istana Plered. Dalam penyerbuan tersebut, R. Trunojoyo mendapatkan bantuan dari pasukan Bugis-Makasar di bawah pimpinan Karaeng Galengsong dan Raja Galengsong, serta Bupati Pasisir. Dalam penyerbuan itu pasukan dibagi dua: separoh pimpinan T. Mangkuyuda yang memimpin orang-orang Mancanagari dan orang-orang pasisir melalui Grobogan, Sukawati, Pajang dan menuju Kajoran. Dia dibantu oleh T. Dandang Wacana dan Daeng Marewa. Sebagian lagi melalui Semarang, Kedu, Trayem sampai di Mataram sebelah Barat di bawah pimpinan T. Wangsaprana dan Daeng Warewa. Desa-desa yang terletak di sepanjang jalan yang dilalui oleh barisan tersebut dirusak dan dirampok.
Kota Plered dikepung dari arah barat, utara dan timur kota. Dalam pertempuran tersebut Sunan tidak mau melawan. Dia beserta putera mahkota dan keluarganya meloloskan diri dari istana, dan pergi ke arah barat. Tujuannya hendak ke Batavia minta bantuan kepada Kumpeni Belanda. Peristiwa ini terjadi pada malam Minggu, 18 Sapar, Tahun Be, 1600 atau 1677 Masehi, dengan demikian pasukan Trunojoyo dengan mudah dapat menduduki istana Plered.
Tetapi tidak lama kemudian keraton Plered dapat direbut kembali oleh P. Puger, salah seorang putera Sunan. Karena dikabarkan Putera Mahkota tidak mau menjadi raja dan akan naik haji ke Mekkah, maka P. puger mengangkat diri menjadi raja Mataram dengan gelar : Susuhunan Ngalaga ing Mataram (Altoff, 1941 : 63 : M. Atmodarminto, 1961:399). Kenyataan putera Mahkota tidak naik haji ke Mekah, tetapi dia diangkat menjadi Sunan Amangkurat II di Mataram. Maka di Mataram ada dua orang raja.
Sunan Amangkurat II tidak senang bertempat tinggal di Plered. Dia ingin mendirikan istana di tempat yang baru, maka dipilihlah Wanakerta sebagai istana di tempat yang baru tersebut diberi nama Kartasura Adiningrat. Dengan Kumpeni diadakan perjanjian yang dikenal dengan sebutan Kontrak Kendeng tahun 1976. Isinya pantai utara Jawa digadaikan kepada Kumpeni Belanda dan juga beberapa daerah Mancanegari seperti Blora, Jipang, Grobogan, dan Cengkal Sewu. Susuhunan Ngalaga tidak senang terhadap tindakan Sunan Amangkurat tersebut. Maka dia bersiap-siap menyerbu Kartosuro.
4. Masa Kartosuro dan Surakarta
Pada masa pemberontakan Trunojoyo, keraton Plered berhasil diduduki musuh. Menurut kepercayaan Jawa, istana yang telah diduduki musuh akan hilang kesaktiannya dan kesuciannya. Maka Sunan Amangkurat II tidak mau menempati istana Plered lagi. Dia ingin mendirikan istana baru di tempat lain. Ada yang mengusulkan di Tingkir, di Logender, dan di Wonokerto. Adipati Urawan mengusulkan agar pindah ke Wonokerto dengan alasan : tanahnya datar, subur, dan strategis, serta menetapi “wisik” yang diterima oleh P. Pekik ketika berada di Butuh Kuyang:
Ki Pekik, wruhananmu, kowe besuk duwe putu lanang, jumeneng ratu gedhe, kedhatone ana ing Wonokerto, kaprenah sakuloning Pajang, abebala bacingah, jejuluk Sunan Mangkurat. (Althoff, 1941: 132).
Selanjutnya persiapan pembangunan istana baru dilakukan. Adipati Nrangkusuma memimpin penebasan hutan Wonokerto. Sesudah pembangunan istana selesai, pada hari Rabu Pon, 27 Ruwah, Tahun Alip, 1603, Sunan Amangkurat II pindah istana ke Wonokerto dan nama Wonokerto di ganti menjadi Kartosuro Adiningrat (Althof, 1941 : 199).
Pertentangan antara Sunan Ngalaga dengan Sunan Amangkurat II segera dapat diselesaikan setelah keduanya mengetahui duduk perkaranya. Sunan Ngalaga kembali menjadi P. Puger dan bertempat tinggal di Kartosuro dengan mendapatkan “lungguh” 4000 karya.
Pada tahun 1703 Sunan Amangkurat II (Sunan Amral) mangkat dan diganti oleh Putera Mahkota Pangeran Adipati Anom dengan gelar Susuhunan Amangkurat III atau Susuhunan Amangkurat Emas. Raja yang masih muda ini selalu berbeda pendapat dengan P. Puger.
Akhirnya pada Tahun 1708 P. Puger pergi ke Semarang tujuan minta bantuan kepada Kumpeni Belanda agar diangkat menjadi Sunan Kartosuro. Oleh Kumpeni permintaan tersebut dikabulkan dan P. Puger diangkat menjadi Sunan Kartosuro dengan gelar : Susuhunan Paku Buwono I.
Sebagai upah dari pengangkatan tersebut, daerah-daerah Demak, Grobogan, Sela dan daerah sekitar Semarang sampai Ungaran diambil oleh Kumpeni sebagai wilayah Kumpeni. Sementara itu pasukan Sunan Kartasura yang ingin menyerbu ke Semarang dapat di tahan oleh pasukan gabungan Sunan Paku Buwono I dan Kumpeni, sehingga terpaksa kembali ke Kartosuro. Peristiwa ini terjadi pada 19 Juni 1708 (Raffles, 1978:188).
Tidak lama setelah pengangkatan itu, Sunan Paku Buwono I menyerbu ke Kartosuro. Sunan Amangkurat gugur dalam pertempuran dan Sunan Paku Buwono I menjadi raja di Kartosuro (1709-1719).
Tahun 1719 Sunan Paku Buwono mangkat, digantikan oleh Susuhunan Amangkurat IV atau Susuhunan Amangkurat Jawi. Pada masa Sunan Paku Buwono I, yaitu pada tahun 1709 diadakan perjanjian dengan Kumpeni. Isi pokok perjanjian tersebut antara lain daerah Semarang dan sekitarnya digadaikan kepada Kumpeni, termasuk didalamnya daerah-daerah Demak, kudus, Blora, Jepara , Pati, Grobogan, Kendal.
Pada masa Amangkurat IV terdapat seorang abdi pekatik yang sangat dekat dengan raja bernama Wongso Dipo. Karena jasanya dapat menyelamatkan jiwa Sunan ketika terjadi perang dengan Pangeran Blitar dan P. Purboyo di Mataram, akhirnya dia diangkat menjadi Bupati Grobogan dengan gelar T. Martopuro. Hanya daerahnya tidak jelas dia dia masih harus tetap tinggal di Kartosuro. Peristiwa ini terjadi pada hari Senin Kliwon, 21 Jumadilakir, tahun Jimakir, 1650 atau 4 Maret 1726. (Serat perjanjian Dalem Nata:92). Dalam pengangkatan tersebut tidak disebutkan daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Kabupaten Grobogan, adalah : Sela, Teras Karas, Wirosari, Grobogan, Santenan, dan beberapa daerah di Sukowati bagian utara Bengawan Sala (Babad Pecina: 172-174). Kemudian beberapa bulan berikutnya Sunan Amangkurat IV mangkat dan digantikan oleh Sunan Paku Buwono II (1727-1749).
Karena Sunan ini masih terlalu muda (baru berumur 16 tahun) maka sebagai penasehat ditunjuk Patih Danurejo, sehingga pengaruh Patih ini terhadap raja sangat besar. Patih ini sangat benci kepada Belanda. Dia mendapatkan dukungan dari Ibu suri raja Ratu Amangkurat, dan T. Martopuro, Bupati Grobogan. Secara diam-diam ketiganya dapat mempengaruhi hati Sunan pun benci kepada Belanda.
Untuk mempersiapkan segala sesuatunya, T. Martopuro meminta kepada Bupati Demak. T. Joyoningrat menyusun kekuatan mengusir Belanda dari Semarang. Usaha ini kelihatan berhasil. T. Joyoningrat melaporkan bahwa mereka telah bersepakat dengan para Bupati pesisir, dan orang-orang Tionghoa itu telah mengangkat seorang Kapten bernama Kapten Sinseh sebagai pemimpin mereka. Mereka mengkoordinasi kekuatan Tionghua di daerah Demak, Pati, Santenan dan Grobogan. Ini terjadi pada tahun 1731. ( Raffles, 1978:214).
Namun hati Sunan yang masih muda itu sering berubah-ubah. Dia khawatir akan pengaruh Patih Danurejo yang semakin besar, maka akhirnya sikap Danurejo dilaporkan kepada Belanda, . Akibatnya patih Danurejo ditangkap dan diasingkan ke Sailan. T. Martopuro tidak senang hatinya dengan tindakan Sunan tersebut, Diam-diam dia menyusun kekuatan di daerah Grobogan.
Sebagai pengganti Patih maka diangkat Adipati Notokusumo, seorang yang juga anti kepada Belanda. Di bawah tanah di bekerja dengan Demang Urawan (putera P Purboyo yang kemudian di tawan dan mati di Batavia) dan T. martopuro (BPH Buminoto, 1958:29)
Untuk membulatkan tekad dan pendapat, maka T. Martopuro mengadakan rapat. Dalam rapat diiputuskan, bahwa mereka harus mempengaruhi hati Sunan agar menyerbu ke Semarang dan membantu China. Sunan dapat dipengaruhi. Hasilnya: Adipati Notokusumo diperintahkan menyerbu Semarang dengan dibantu oleh Bupati-bupati Pasisir: Demak, Pati, Juana, Grobogan, dan pasukan Tionghoa. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1741 (Raffles, 1978:215-217).
Ketika terjadi pemberontakan Cina di Batavia 1740 sikap Sunan tidak tegas, tetapi setelah dapat dipengaruhi oleh Adipati Jayaningrat dengan kawan-kawannya, sikap Sunan jelas membantu China. Keadaan ini segara berubah, setelah usaha Adipati Notokusumo menyerbu Semarang gagal (November 1741). Sikap Sunan berubah sama sekali. Dia berpihak kepada Belanda. Bahkan Adipati Notokusumo ditangkap ditangkap dan dibuang ke Sailan.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, ini, T. Martopuro tidak enak hatinya, maka dia pulang ke Grobogan. Di Grobogan, dia mengangkat diri sebagai Adipati Puger dan bekerja sama dengan orang-orang Tionghoa di Kartosuro.
Sementara itu tindakan Sunan semakin kejam. Pangeran Teposono dibunuh tanpa dosa. P. Haryo Mangkunegoro, kakak iparnya dibuang ke Afrika Selatan, tanpa dosa, dan beberapa sentana serta abdi dalem yang lain diturunkan pangkat dan dan jabatannya. Sudah barang tentu keadaan ini memberi angin baik kepada orang-orang Tionghoa untuk menghancurkan Kartosuro yang rajanya tidak tetap pendiriannya itu. Demikian juga dengan terang-terangan Adipati Puger atau Adipati Martopuro membantu orang-orang Tionghoa.
Atas dorongan dan bantuan Kapitan Sepanjang, Bupati Pati, T. Mangunoneng, dan Bupati Grobogan: Adipati Martopuro Puger, maka Raden Mas Garendi, putera P. Teposono, dan salah seorang cucu Sunan Amangkurat III, diangkat menjadi raja Kartosuro dengan gelar Susuhunan Kuning.
Raden Mas Garendi inggih punika putranipun Pangeran Teposono ingkang dipun uyun-uyun dening Cina, kajumenengan nata ajejuluk Sunan Kuning, dipun aturi nggepuk kartosuro. Adipati Martopuro anggenipun gadhah pikajeng makaten wau, boten melikaken dhateng karaton, namung kabekto saking kakening manahipun, ngantos kawedal wicantenipun dhateng Cina, “Ratu kang cidra iku mangsa amalatana, getaken wae, amesthi kabur”. Ing ngriku Adipati Martopuro sampun sagolong kaliyan Cina, sumedya mbedah nagari Kartosuro (Panambangan, 1976:43).
Keraton Kartosuro diserbu dan 30 Juni 1742 istana dapat diduduki. Sunan Paku Buwono II terpaksa menyingkir ke Lawiyan kemudian terus ke Ponorogo dengan diikuti oleh para pangeran yang masih setia kepada Sunan, Pangeran Adipati Anom, dan kapten Hogendorp. Lolosnya Sunan dari istana ditandai dengan sengkalan, “Swara karungu Obahing Bumi” (1667 Jawa = 1742 M) (Giyanti I: 1932: 14). Dalam pelarian itu Sunan membuat kontrak Ponorogo. Isi kontrak antara lain; Seluruh pantai utara Jawa menjadi milik Kumpeni Belanda; dan pemilihan serta pengangkatan Patih harus mendapatkan persetujuan Kumpeni Belanda. Sebagai imbalannya Kumpeni harus dapat mengembalikan takhta Kartosuro kepada Sunan.
Akhirnya atas bantuan pasukan Cakraningrat dari Madura, Kartosuro dapat direbut kembali (Desember 1742). dan pada tanggal 24 Desember 1742 Sunan Paku Buwono II kembali ke Kartosuro dan menduduki takhta kerajaan kembali. Sunan Kuning melarikan diri ke timur dan akhirnya menyerah di Surabaya (Oktober 1743). (MD Sumarto, 1952: 114-115). Perlawanan diteruskan oleh kaum pemberontak yang tidak mau berdamai dengan Sunan maupun Kumpeni Belanda. Mereka itu ialah : Adipati Martopuro di Grobogan; RM Sahid atau RM Suryokusumo di Nglaroh; P. Singosari di Keduwang, P. Buminoto di Wiraka dan lain-lain.
Karena Kartosuro sudah tidak aman lagi, maka Sunan ingin pindah dari Kartosuro. Ada yang mengusulkan di desa Kadipolo, di desa Sonosewu, dan di desa Sala. Yang terpilih adalah desa Sala. Setelah pembangunan istana selesai, maka Sunan pindah ke Sala, dan digantinya namanya menjadi Surakarta Hadiningrat. (Tus Pajang, 18). Pemetaan calon istana dan kota serta pengukurannya dilakukan oleh Mayor Hogendrorp, Patih R A Pringgoloyo, Kyai T. Pusponegoro, Kyai T Honggowongso, Kyai Y. Mangkuyudo, Kyai T Tirtowiguno, Pangeran Wijil, Kyai Khalifah Buyut, Kyai Ng. Yosodipuro I serta Kyai Tohjoyo. (Giyanti 1:19).
Desa Sala yang terpilih menjadi istana diratakan. Pembangunan istana dilakukan oleh: Undagi Kyai Prabasena dibantu oleh Kyai Kartosono, Kyai Rajegpuro, Kyai Srikuning ditambah tenaga dari mancanagari (Pawarti Surakarta, 1939 : 23). Awal pembangunan ini ditandai dengan sengkalan “Jalma Sapta Amayang Bhuwana” (1670 Jawa = 1744 M). Setelah selesai maka keraton kartosuro dipindah ke Sala atau Surakarta Hadiningrat yang ditandai sengkalan “Kombuling Puja Aryarsa ing Ratu (1670 jawa = 1745 M) pada hari Rabu Pahing, 17 Sura, Je, 1670. (Pawarti, 1939: 16-17).
Walaupun keraton sudah dipindahkan ke Surakarta Hadiningrat, negara masih tetap dalam keadaan kacau. Pemberontakan masih tetap merajalela. Para pemberontak itu ialah : Pangeran Haryo Buminoto di Sembuyan (Adik Sunan). Pangeran Singosari di Kaduwang (Adik Sunan). Pangeran Parangwadono (P. Suryokusumo atau RM Said) di Nglaroh. Adipati Martopuro atau Adipati Puger di Grobogan Sukawati.
Para pemberontak itu bergabung menjadi satu dan berpusat di Sukawati-Grobogan. Hanya Pangeran Haryo Buminoto sajalah yang tidak mau bergabung. Ketika mereka berada di Sukowati, Adipati Martopuro mengangkat P. Prangwadana menjadi Pangeran Adipati Anom Hamangkunagoro, Senapati ing Ngalaga Sudibyaning Prang. Sedang Adipati Martopuro atau T. Sujonopuro berganti nama menjadi Panembahan Puger. Waktu itu mereka berpusat di Majarata, Sukawati.
Dalam keadaan kacau itu, adik Sunan yang lain, yaitu P. Mangkubumi, karena dihina oleh Patih Pringgoloyo, juga keluar dari istana dan melakukan pemberontakan.
Sabibaripun pasowanan B PH mangkubumi lajeng tata-tata badhe nilar praja, kados ingkang sampun nate kalampahan. Lolosipun nyarengi mantukipun Tuwan Gouvenur General Baron van Imhoof, inggih punika ing dinten Sabtu Kliwon malem Ngahat legi, kaping 4 Jumadilawal, tahun Dai, 1971 (1745 Masehi). (Buminata, 1958: 13).
Selanjutnya P. Mangkubuni membentuk pusat pertahanan di desa Pandak Karangnongko, daerah Sukowati, sedang Panembahan Puger berpusat di desa Glagah, daerah Grobogan.
Pada suatu saat, pasukan Panembahan Puger mendapatkan serbuan hebat dari pasukan gabungan Kumpeni dan Sunan. Dalam pertempuran itu pasukan Puger mendapatkan kekalahan hebat. Pasukannya kacau balau. Bahkan dia sendiri melarikan diri ke Semarang. Di semarang dia menyamar sebagai kuli sambil menjual burung dara. Hidupnya terlunta-terlunta. Dalam hati dia memohon kepada Tuhan agar dia memperoleh kebahagiaan di akhir nanti.
Awit saking sangeting prihatosipun, nuju satunggaling dalu, adipati Martopuro supena. Katingalipun ing salebeting pasupenan kados dene pinuju mara tamu jagong ing Kapatihan Natakusuman (Kartosuro), tamunipun para putra tuwin para bupati, tetingalipun ringgit wacucal. Sareng wiwit jejer, P. Mangkubumi katingal jumeneng mendhet balencong kebekta lumajeng. Tamu lajeng bibaran. Tumunten katingal malih, RM Sahid ngrebat kempol, ugi lajeng kabekta lumajeng. Adipati Martopuro nututi ngodol saking wingking tindakipun P.Mangkubumi, purugipun mangetan, minggah ing redi Lawu. Adipati Martopuro taksih dherekaken, sareng dumugi nginggil kaget byar lajeng tangi (Panambangan, 1979 : 72).
Setelah mengalami peristiwa tersebut, Adipati Martopuro segera pergi ke Surakarta mencari kabar tentang P. Mangkubumi. Dia menemui menantunya: T. Joyopuspito atau T. Honggokusumo. Setelah ketemu, mereka berdua ditambah anaknya Suwandi (Suryonagoro) pergi ke Sukowati. Dari T. Joyopuspito dia mengetahui bahwa P. Mangkubumi juga melakukan pemberontakan dan sekarang berada di desa Pandak Karangnongko, maka mereka segera pergi menyusul P. Mangkubumi. mereka hendak mengabdi. Setelah dapat menghadap, pengabdianya diterima. Adipati Martopuro diangkat sebagai Puger (kembali pada namanya yang lama di Panembahan Puger ketika berkumpul dengan P. Prangwadana di Grobogan). Sedang T. Joyo Puspito diangkat menjadi Bupati dengan mana T. Suryonagoro.
Sementara itu pasukan P. Mangkubumi di Sembuyan sampai di Grobogan dan bertemu dengan Adipati Puger. Mereka menghadap P. Mangkubumi di desa Ramun, Grobogan. Tidak lama kemudian mereka berangkat ke Sembuyan dengan membawa 1500 prajurit. Dari Sembuyan P. Mangkubumi kembali ke Jekawal, Sukowati. Dari Jekawal terus ke Barat lewat arah Wirosari, Sela. Teras Karas, Grobogan. Dari sini terus ke arah barat daya menyusuri lereng Merbabu dan Merapi menuju ke Kedu. Dari Kedu terus ke Mataram. Di desa Banaran, daerah Nanggulan, Gunung Gamping, P. Mangkubumi mengangkat diri menjadi Susuhunan kabanaran.
Ing dinten Jumuah Legi, kaping 1 Sura, tahun Alip, 1675 utawi kaping 11 Desember 1749, BPH mangkubumi lenggah dipun adep para sadherek lan para putra punapa dene punggawa sadaya … lajeng jumeneng jejuluk Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Senopati ing Ngalaga ngabdur Rachman Sayidin Panatagama Khalifatulah (Buminata, 1958:20)
Karena penobatan tersebut terjadi di desa Banaran, maka akhirnya Sunan biasa disebut Sunan Banaran di Mataram. Dalam penobatan tersebut Sunan berkata : (Ibid: 20).
Rehning Ratu iku mesthine nganggo Patih, saiki ingkang dadi karsaningsun, kaki PH Mangkunagoro ingsun sengkakake ing ngaluhur dadiya Pepatihingsun, sarta abdiningsun Jayasanta dadiya Jeksa. Apadene Adipati Puger dadiya Bupati Grobogan angerahna: Demak, Santenan, Cengkal Sewu, Wirosari, Sesela, Teras Karas, Blora lan Jipang. T. Suryanagara ingsun ganjar lemah 1500 karya. Sastra anjunjung anakingsun dadi Pangeran Adipati Anom, Jejuluk KGPHH Mangkunagoro. Apadenen maneh kangmas BPH Hadiwijaya, adhimas GPH Singasari, adhimas BPH Rangga, adhimas BPH Prabu Jaka; Adhimas BPH Panular salin jeneng BPH Mangkukusuma. Sarta junjung putraningsun dadi pangeran iya iku jeneng Pangeran Hangabehi. Kabeh wae yen ana ingkang ora ngrujuki matura ing dina iki. (Buminata: 20 ; Panambangan:93).
Selanjutnya peristiwa penting yang terjadi pada tahun 1749 di Kasunanan Surakarta adalah : Sepeninggal P. Mangkubumi maka Sunan jatuh sakit. Pada waktu sakit keras itu datanglah Hogendorp ke Surakarta dengan membawa naskah surat perjanjian. Sunan disuruh menandatangani surat perjanjian tersebut. Dalam keadaan sakit keras itulah Sunan Paku Buwana II menandatangani surat perjanjian yaitu pada tanggal 11 Desember 1749.
Rikala napak asmani perjanjian nglerehaken keprabon punika kaliyan dipun wungokaken, sarta astanipun dipun cepengi. Wondene jumenengipun (Nata) wonten ing dinten Senen Wage, kaping 4 sura, tahun Alip, 1675 utawi 14 desember 1749 masehi, dados kaot tigang dinten kaliyan jumeneng dalem nata BPH Mangkubumi wonten ing Mataram (Buminata:21).
Jelas bahwa pengangkatan BPH Mangkubumi sebagai Susuhunan Kabanaran bersamaan dengan penandatanganan perjanjian antara Sunan Paku Buwono II dengan Kumpeni Belanda yaitu tanggal 11 Desember 1749.
Susuhunan Kabanaran tidak memperdulikan isi perjanjian tersebut. Dia meneruskan perlawanannya menentang Belanda. Desa Banaran (daerah Nanggulan, Kulon Progo, sebelah timur Gunung Gamping) dijadikan pusat perlawanan Mangkubumen.
Dengan cepat pasukan Mangkubumen dapat menguasai daerah-daerah pantai utara Jawa bagian Barat. Pada tahun 1752 daerah-daerah yang dikuasai adalah daerah-daerah Kapten Juana (asli Ternate), T. Joyoningrat di Pekalongan, T. Cokrojoyo di Batang, T. Jayengrono dan Wiradijoyo di Brebes (Serat Perjanjian : 45-46).
Sesudah penobatan itu, adipati Puger di perintahkan kembali ke Grobogan untuk menakhlukkan daerah-daerah sekitarnya dan untuk selanjutnya menyerbu ke Surakarta.
Pada hari Ahad Legi, 22 Sura, Jimawal, 1677 atau 12 Desember 1751, setelah selesai perang di Jenar (Kedu), Sunan Kabanaran mengangkat Abdi Dalem Lebet pangkat mantri bernama Ng. Prawirorono menjadi Bupati dengan nama T. Kartonadi karena jasanya dapat membunuh Mayor Clerk dalam pertempuran di Jenar tersebut. T. Kartonadi ini nantinya diangkat menjadi Bupati Grobogan dengan nama T. Sosronagoro.
Dalam masa inilah Sunan Kabanaran berbintang terang. Di beberapa tempat selalu menang perang. Ketika Sunan Kabanaran sedang di desa Semawe, menerima utusan dari T. Suryonegoro yang disuruh menjaga daerah Grobogan, sebab sepeninggal T. Martopuro (Adipati Puger), dia diperintahkan untuk menaklukan daerah-daerah atau desa-desa sekitar Grobogan. Tidak lama kemudian Sunan Kabanaran berpindah tempat ke desa Majaramu, kemudian ke desa Kalangrambat.
Di dalam menghadapi perang Mangkubumi, Belanda melaksanakan politik pecah belah (devide et empera). Usaha ini kelihatan hasilnya: Sunan Kabanaran dapat dipisahkan dari PA Mangkunegoro. Disamping itu Mayor Hogendorp melalui utusannya Syech Ibrahim dapat membujuk Sunan Surakarta (Paku Buwono III) untuk membagi kerajaannya untuk Sunan dan untuk Sunan Kabanaran.
Untuk mengadakan persiapan perdamaian antara Sunan, Sunan Kabanaran dan Kumpeni, maka pada hari Ngahad Legi, 4 Besar, Dai, 1679 atau 22 September 1754, Komisaris jendral N Hartingh menghadap Sunan Kabanaran di desa Padagangan, sebelah barat laut kota Surakarta, wilayah Grobogan, untuk mengadakan pembicaraan akan diadakannya perjanjian antara Sunan Surakarta dengan Kabanaran (Buminata, 1958: 56-57).
Selanjutnya pada hari kamis Kliwon, 29 Rabingulakir, Be, 1680 atau 13 Pebruari 1755 diadakan perjanjian di desa Giyanti, wilayah Lebak Jatisari antara Sunan Surakarta dengan Sunan Kabanaran. Naskah perjanjian disahkan pada 1 Sapar, Jumakir, 1682. (Panambangan, 1918 : 137).
Dalam perjanjian tersebut Kumpeni meminta agar daerah Pesisir dan Madura tidak dibagi, sebab sudah diserahkan kepada Kumpeni berdasarkan perjanjian dengan Sunan Paku Buwono II (1749) dan Sunan Paku Buwono III (1751). Daerah-daerah yang dibagi “Sigar semangka” ialah daerah-daerah di Nagoro Agung. Sedang daerah-daerah yang dibagi sedaerah-daerah atau sedesa-desa adalah daerah Monconagari Kilen dan Wetan. Daerah Monconagari ada 30 daerah/kota yang dapat dibagi, tidak termasuk daerah-daerah Pajang, Sukowati, dan Mataram bagian Selatan (Sukanto : 21 – 23; Buminata : 57 – 58; Giyanti XIII : 76-78 : Serat perjanjian Dalem Nata : 57-58).
Dari hasil pembagian daerah-daerah Monconagari ini Sunan memperoleh 32.350 cacah (Karya) dan Sultan (Sunan Kabana¬ran) memperoleh 33.950 cacah (karaya). Sultan mendapatkan lebih luas karena daerahnya agak tandus, sedangkan daerah Sunan merupakan daerah subur. Dengan demikian maka dae¬rah – daerah Salatiga, Grobogan, wilayah Semarang, Jipang, Blora juga termasuk daerah pembagian.
Menurut catatan Hartingh (Dejonge, Opkomst, X : 374-375) hasil pembagian negara adalah masing-masing Surakarta dan Yogjakarta memperoleh daerah seluas 53.100 cacah, yaitu berupa tanah lungguh, apanase sedesa atau sekumpulan desa (ingkang dhawah seki lenipun Surakarta dipun palih sigar semangka) (Buminata, 1958 : 73).
Untuk jelasnya, maka secara garis besar pembagiannya adalah sebagai berikut :
a. Menurut Sukanto (1958 : 73).
Sultan mendapatkan daerah-daerah Madiun, Magetan, Caruban, saparoh Pacitan, Kertosono, Kalangbret, Teras Karas (Ngawen), Sela, Kuwu (Warung), Rawa (Tulung Agung), Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Wirosari, Grobogan. Daerah-daerah ini sebelumnya merupakan daerah koordinatif Bupati Pati, Caruban, dan Kediri.
Sunan mendapatkan daerah-daerah : Jagaraga, Ponorogo, separoh Pacitan, Kediri, Blitar, Srengat, Lodoyo. Pace, Nganjuk, Brebeg, Wirosobo (Mojo Agung), Blora, Banyumas, Kaduwang. Daerah – daerah ini sebelumnya menjadi koordinatif Bupati Ponorogo, Madiun dan Banyumas.
b. Menurut BPH Buminata (1958 : 73 : Penambangan, 1916 :137)
Sultan mendapatkan daerah-daerah : Madiun, Ponorogo, Sumoroto, Maospati, Sidoyo, Pasuruan, Paci¬tan, Kalangbret, dan sepanjang pesisir Gresik. Dengan catatan bahwa daerah-daerah di Kabupaten Grobagan tetap menajdi daerah Kesultanan.
Sunan mendapatkan daerah-daerah ini ditandatangani antara Susuhunan dan Sultan pada tanggal 26 April 1774, dan disaksikan oleh Gubernur Jenderal Johanes Potters van den Burg. Tindakan ini perlu dilakukan sebab perjanjian Giyanti sendiri mene¬tapkan secara jelas pembagian daerah – daerah tersebut. ( Perjanjian Dalem Nata : 58 – 61 ).
Selanjutnya pada tanggal 14 Pebruari 1755, Sultan mengangkat para Abdi dalem dan para “punggawa” dengan mengikuti pola yang ada di Kasunanan Surakarta (Buminata: 71-72).
T. Suryonagoro diangkat menjadi Bupati Miji di Grobogan menggantikan Adipati Puger yang sudah meninggal (1753) dengan nama T. Yudonegoro.
T. Yudonegoro (Bupati Banyumas) yang diminta dari Sunan, diangkat menjadi Patih dengan nama Raden Adipati Danurejo.
T. Ronggo Wirosetiko diangkat Wedana Panumping dengan nama T. Ronggo Prawirodirjo.
dan lain – lain masih banyak lagi yang diangkat menjadi Punggawa dan Abdi dalem.
Selanjutnya PA Mangkunagoro juga diadakan perjanjian di Salatiga pada hari Jumat Pon, 5 Jumadilakir, Be, Windu Adi, 1681 atau 25 Maret 1757. Sebagai Pangeran Miji, dia memperoleh tanah lungguh 4000 karya, yang terdiri dari daerah-daerah : Laroh, Sembuyan, Matesih, Wiraka, Keduwang. Ngawen, separoh kota Surakarta, Karang Anyar, Baturetno, dan beberapa daerah kecil yang lain.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa daerah-daerah Kasultanan di daerah Grobogan adalah Grobogan, Sesela, Teras Karas, Warung, Wirosari. Sedang sunan juga memiliki daerah enclave di daerah Grobogan. Daerah enclave Sunan seluas 35000 karya di daerah Grobogan, dan beberapa daerah lain, yang berdasarkan perjanjian antara Sunan dengan Belanda tanggal 6 Januari 1811 dan ditanda tangani oleh Patih Raden Adipati Cokronegoro, diambil oleh Kumpeni belanda (Zaman Daendels). Juga daerah-daerah Jepara, Semarang, Demak Selatan (Cengkal Sewu), Salatiga, Blora, Jipang, dan Kedu Utara sampai perbatasan Kendal, diambil oleh Kumpeni Belanda.
Prakawis 2
Kangjeng Gupermen Walandi samangke dipun sukani tatah Kedu kang kabawah Kangjeng Susuhunan, punika plajengipun meh dumugi ing tanah pesisiran kang ler.
Prakawis 4
Kalih Kangjeng Gupermen Walandi dipun sukani siti ingkang bawah Kangjeng Susuhunan, siti becik ingkang wonten ing Semawis lan ing Demak, punapa dene siti kang saupami (enclave) wonten ing Landresan, Jepanten, utawi ing liyanipun punapa malih siti kang saupami (enclave) wonten Grobogan lan tanah ing Salatiga.
Prakawis 5
Kangjeng Gupermen Walandi dipun sukani siti ing Blora kang wonten saklering pungkasaning wates ing Grobogan lan tanah ing Jipang.
(Perjanjian Dalem Nata : 84 – 85; Sukanto : 77).
Kemudian berdasarkan perjanjian dengan pemerintah Inggris, pada hari sabtu, 1 Agustus 1812 daerah-daerah enclave di Salatiga, Demak, dan Grobogan dikembalikan kepada Sunan, dan sebagai gantinya Inggris mengambil seluruh kota pelabuhan, pasar-pasar, sarang burung, juga Kedu, Wirasaba, Blora, Jombang, dan Pacitan. Sebagai gantinya Sunan mendapatkan pajak pelabuhan, pasar, dan lain-lain tersebut sebesar 120.000 ringgit tiap tahun. (Perjanjian Dalem Nata : 90 – 92); Sukanto, 1958 : 96).
Pada 22 Juni 1830 antara Sunan dengan Belanda diadakan perjanjian, yang isinya antara lain : daerah Sela, Kuwu, dan Kradenan dimasukkan ke dalam wilayah Sukowati. Daerah ini pada tahun 1829 persetujuan Sultan diambil oleh Sunan.
Wondene siti ing Sela tuwin ing distrik Kuwu, ing Kradenan, punika taksih tumut golonganipun siti Sukowati, sanes siti Mancanegari. Mila siti ing Kuwu lan ing Sela, saha siti ing bawah Mataram ing Imogiri, ing Kitha Ageng bawah Surakarta taksih tetep dados kagungan Dalem Kraton Surakarta. (Perjanjian Dalem Nata : 106).
D. TERBENTUKNYA KABUPATEN GROBOGAN
Pembahasan terhadap terbentuknya sesuatu Kabupaten sama halnya dengan pembahasan terhadap terbentuknya sesuatu pemerintahan sesuatu daerah.
Yang dimaksudkan dengan hari Jadi ialah hari kelahiran, dies natalis, yaitu saat sesuatu itu tidak ada menjadi ada. Menurut pandangan hidup “kejawen”, hari kelahiran mengandung makna yang besar dan berarti, yang menggembirakan dan penuh harapan. Harapan kelahiran juga memberikan sifat-sifat tertentu kepada yang dilakukan.
Seseorang yang baru lahir, merasa bebas dari kungkungan perut ibunya. Namun di alam bebas dia harus mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Panas, dingin, lapar, dan dahaga harus dialaminya. Dia harus berjuang agar tetap hidup. Dia mencoba dan berusaha menggunakan alat-alat tubuh yang dimilikinya menurut kemampuannya untuk dapat bertahan hidup dan keberadaannya.
Ibarat kelahiran seorang bayi tersebut, dapat pula kita terapkan pada kelahiran suatu negara, daerah, kota, ataupun pemerintahan. Walaupun, masih sangat sederhana, masih mengalami perubahan seiring dengan kebutuhan dan perubahan lingkungan atau zaman, kelahiran sesuatu negara, daerah, kota ataupun pemerintahan harus dipenuhi syarat-syarat, yaitu adanya wilayah, adanya rakyat sebagai pendukung, dan pemerintahan sebagai arahan dalam usaha mempertahankan kehidupan dan keberadaannya.
Kalau menurut pandangan “kejawen” kelahiran sesuatu negara, kota atau pemerintahan didasarkan pada adanya pulung, cahya nurbuat, wahyu, andaru ataupun impian-impian, seperti termuat dalam cerita-cerita di sumber-sumber babad, maka secara rasional kelahiran sesuatu negara, daerah, kota atau pemerintahan didasarkan pada kenyataan sejarah peristiwa yang berupa kegiatan perjuangan manusia-manusia tokoh-tokoh penumbuh berdirinya kota, negara, daerah atau pemerintahan tersebut. Misalnya : R. Wijaya (Mojopahit), R. Patah (Demak), Mas Karebet (Pajang), P. Dayaningrat (Pengging), Sutowijoyo (Mataram), P. Banjaransari (Pajajaran) dan lain-lain.
Di dalam menurut perkembangan Sejarah daerah Grobogan untuk mencari dan menemukan kapan daerah tersebut mulai menunjukkan kegiatan pemerintahannya secara mandiri, tidak di pengaruhi oleh pemerintahan lain yang bersifat memaksa. Usaha ini tidak lain adalah usaha untuk mencari dan menemukan kelahiran sesuatu Kabupaten, maka wilayah pemerintahan dalam sejarah pemerintahan Jawa adalah : mula-mula secara bertingkat adalah : Kabupaten, Patinggen, Kedamangan, Kalurahan atau Desa. Di atas terdapat Kemantren atau Kecamatan atau Onder Distrik, Kawedanan atau Onder Regentschap, dan terakhir adalah Kabupaten Gunung, Kabupaten Pangreh Praja atau Regentschap. Sebagai pusat pemerintahan adalah Kerajaan atau Negara.
Untuk wilayah yang sekarang bernama Kabupaten Daerah Tingkat II Grobogan, dalam menetapkan Hari Jadinya didasarkan pada kapan terciptanya pemerintahan lokal Kabupaten di Grobogan pada masa dahulu.
Dalam sejarah Jawa, jabatan Bupati adalah Bupati Prajurit. Sebutannya Adipati. Tugasnya : menyediakan prajurit dan tenaga untuk raja dan kerajaan. Maka Bupati ini harus bertempat tinggal di Khutogoro. Di samping tugas tersebut, maka dia harus pula menyediakan kebutuhan istana, orang aneh, kain-kain, dan sebagainya. Sebagai pemimpin dari beberapa Bupati tersebut diangkat Bupati Nayoko atau Wedono Bupati Sepuh (Serat Adhel : 11-13) Bupati jenis ini memiliki wilayah yang pasti dan sistem pemerintahan yang tetap. Misalnya pada zaman kerajaan kita ketahui adanya Bupati Panekar, Bupati Numbak Anyar, Bupati Bumi Gede, Bupati Penumping, dan sebagainya.
Setelah sistem administrasi wilayah dikembangkan menurut pola administrasi Barat (Belanda), maka pada tahun 1840 dikeluarkan Serat Angger-Anggeran Nagari atau Serat Angger Gunung, yang mengatur tata tertib dan pemerintahan di daerah pedesaan. Untuk pengamanan wilayah maka diadakan pos penjagaan (keamanan sepanjang jalan lalu-lintas utama antara Surakarta-Semarang dan Surakarta-Yogyakarta-Semarang. Nama pos penjagaan itu adalah Pos Tundan, yaitu sebagai tempat penjagaan daerah tersebut. Sedang di daerah Gubernermen juga mulai ditertibkan pembentukan Regenschap atau Kabupaten Administratip.
Kemudian pembentukan Pos Tundan itu ditingkatkan lagi dengan pembentukan Kabupaten Gunung Polisi berdasarkan Staatsblad 1847 no. 30 dan kelengkapannya melalui Staatsblad van Ned. Indie 11854 no. 32. Sampai di sini tugas seorang Bupati masih sebagai Bupati Prajurit dan Kepala Pengadilan Wilayah yang bertindak sebagai Polisi Daerah. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatblad van Ned. Indie, 30 September 1918 No. 14 tentang status Bupati Staatblad ini kemudian diikuti keluarnya Rijksblad Surakarta, 12 Oktober 1918 No. 23 dan No. 24 yang disyahkan pelaksanaan oleh Pranatan Patih Dalem No. 383 th 1918 yang isinya penggantian nama Abdi Dalem Patari (Abdi Dalem Gunung) beserta stafnya menjadi Abdi Dalem Pangeran Projo supaya sesuai dengan status Kabupaten daerah Gubernemen;
Para Abdi Dalem Wedana, Panewu Mantri kang sumengko kasebut Golongan Polisi, nanging kang kawajiban nindakake babagan paprintahan, ikut ing sumengko jenenge Golongan Abdi Dalem mau Kasalinan, Abdi Dalem Pangreh Praja. (Rijksblad Surakarta, 1918 No. 23 : 169-171). Mungguh kuwajiban para panewu panggedening Distrik Serat tumrap babagan Polisi wae nanging iya anindakake babagan peprintahan (Rijksblad Surakarta, 1918 No. 14:171).
Dengan ketetapan tersebut maka seluruh Jawa ada sebutan Kabupaten Pangreh Projo, termasuk Kabupaten Grobogan di Purwodadi. Perlu diketahui bahwa struktur Pemerintahan Kabupaten Pangreh Praja adalah sebagai berikut :
Bupati, disebut Bupati Pangreh Praja.
Panewu Gunung disebut Wedono Pangreh Praja.
Panewu Sekretaris yang disebut Wedono Kondaning Bupati Pangreh Praja.
Mantri Gunung disebut Mantri Pangreh Praja.
Mantri Sekretaris yang disebut Panewu Kondhaning Wedanan Pangreh Praja.
Mantri Polisi disebui Mantri Pangreh Praja.
Disamping itu juga ditetapkan struktur birokrasi dengan di tingkat Distrik (Kawedanan) dan Onder Distrik (Kemantren) di daerah-daerah wilayah Kabupaten Pangreh Praja. Jumlah Pejabat menurut Staatsblad V Ned Indie 1924 No. 18 dengan Rijksbald Surakarta 1924 No. 19 adalah sebagai berikut. Staatsbald V Ned Indie 1924 No. 18 hal 40-41 Rijksblad 1924 No. 24 hal 41-42.
Para pembantu Sekretaris, pembantu Priyayi, termasuk Golongan Pangreh Praja.
Para Carik serta Mantri di Kabupaten pra Carik Panewon dan Keonderan Distrik serta uang diperbantukan di Algemene Polisi.
Para Priyayi yang memiliki Diploma Pangreh Projo Pemerintahan Jawa serta Para Mantri Polisi.
Para Mantri Sekretaris Kabupaten.
Para Mantri Pembesar Onder Distrik.
Para Panewu Sekretaris.
Para Panewu Pembesar Distrik.
Bupati Anom Pangreh Praja.
Bupati Pangreh Praja.
Dari penjelasan diatas, setelah kita mengkaji perkembangan sejarah Grobogan yang sekarang menjadi Kabupaten daerah Tingkat II Grobogan, untuk menetapkan hari jadinya dapat di ajukan alternatif sebagai berikut :
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Hari Jadi Kabupaten Grobogan jatuh pada hari SENEN KLIWON, 21 Jumadilakir, 1650 atau 4 MARET 1726. Pada saat itu Susuhunan Amangkurat IV mengangkat seorang abdi yang berjasa kepada Sunan, bernama Ng. Wongsodipo menjadi Bupati Monconegari Grobogan dengan nama RT Martopuro. Dalam pengangkatan ini ditetapkan pula wilayah yang menjadi daerah kekuasaannya, ialah ditetapkan pula wilayah yang menjadi daerah kekuasaannya, ialah Sela, Teras, Karas, Wirosari, Santenan, Grobogan, dan beberapa daerah di Sukowati bagian Utara Bengawan Sala. (Babad Pecina : 172-174).
Oleh karena Kota Kartosuro pada waktu itu sedang dalam keadaan kacau, maka RT Martopuro masih tetap di Kartosuro. Sedang pengawasan terhadap daerah Grobogan diserahkan kepada kemenakan sekaligus menantunya : RT Suryonegoro (Suwandi). Tugasnya menciptakan struktur pemerintahan Kabupaten Pangreh Praja. Seperti adanya Bupati Patih, Kaliwon, Panewu, Mantri dan seterusnya sampai jabatan Bekel di desa-desa.
Pengertian Monconagari ialah daerah taklukan Raja Daerah ini bukan daerah asli. Pendudukan sebagai daerah yang berkewajiban “seba” kepada raja setahun sekali yaitu pada hari besar “Gerebeg”. Perlu diketahui bahwa sejak masa Kartosuro sampai masa Surakarta awal, awal Kerajaan dibagi menjadi tiga kelompok daerah yaitu :
Kuthogoro, yaitu tempat tinggal raja, keluarga raja dan pejabat tinggi kerajaan. .
Negara Agung yaitu daerah asli kerajaan, daerah ini dibagi menjadi 8 Kabupaten Nayaka (dibawah Bupati Prajurit). Kedelapan Kabupaten tersebut ialah : Kabupaten Bumi, Bumija, Bumi Gede Kiwa, Bumi Gede Tengan, Sewu Numbak Anyar, Penumping, dan Panekar.
Monconagari, daerah ini merupakan daerah vasal yang terdiri dari daerah Monconagari Kilen dan monconagari Wetan serta pengangkatan Ng. Wongsodipo sebagai Bupati Grobogan dengan gelarnya RT. Martapura belum dapat dikatakan sebagai waktu lahirnya Kabupaten Grobogan, sebab sebelum memenuhi persyaratan dasar bagi sebuah Kabupaten.
Dari penjelasan di muka, jelas bahwa pangangkatan Bupati Grobogan atas diri Ng. Wongsodipo atau RT Martopuro atau Adipati Puger disertai dengan penyerahan kekuasaan atas daerah-daerah yang menjadi wilayahnya. Ini berarti, bahwa pengangkatan Bupati di sini adalah sebagai Bupati Kepala Daerah. Sebagai Bupati Patih adalah RT Suryonegoro. Dalam perkembangan selanjutnya sebagai Bupati Kepala Daerah, Adipati Puger menguasai daerah-daerah Demak, Santenan, Cengkal Sewu, Wirosari, Sela, Teras, Karas, Blora dan Jipang, serta daerah-daerah di Sukowati bagian utara Bengawan Sala. Sedang sebutan Adipati merupakan sebutan bagi seorang Bupati Monconagari yang memiliki kedaulatan atas daerah-daerah yang dikuasainya.
Penataan administrasi wilayah sudah barang tentu dilakukan secara bertahap dan baru pada masa pembentukan Kabupaten Pangreh Praja (1847) sistem administrasi Kabupaten sudah boleh dikatakan mendekati sempurna, seperti Kabupaten Daerah Tingkat II sekarang. Di samping itu Adipati Puger atau RT Martopuro menjabat Bupati Grobogan sampai meninggalnya (1753), dan nantinya dia digantikan oleh menantunya : RT Suryonagoro dengan gelarnya RT Yudonagoro.
Dari penjelasan di atas, maka tanggal 4 Maret 1726 dapat ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Grobogan telah ada dan jelas memiliki perangkat yang diisyaratkan bagi adanya sebuah Kabupaten, yaitu adanya : wilayah, rakyat, dan pemerintahan, walaupun belum sempurna (Senin Kliwon, 21 Jumadilakir, 1650).
Selanjutnya sebagai akhir uraian dari bab ini perlu disebutkan para Bupati yang pernah memerintah di Kabupaten Grobogan. Menurut data yang ada Kabupaten Grobogan dengan ibu kota Grobogan pindah ke kota Purwodadi terjadi pada tahun 1864. Peristiwa ini hanyalah merupakan perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Grobogan. Jadi tidak terjadi perubahan status daerah tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya kita ketahui bahwa pada 1928 (Staatbald, 1928 No. 117) Kabupaten Grobogan mendapatkan tambahan dua distrik (Kawedanan) dari Kabupaten Demak, yaitu :
1. Kawedanan distrik Manggar dengan ibukotanya di Godong.
2. Kawedanan distrik Singen Kidul dengan ibukotanya di Gubug.
Maka Jumlah desa di dalam wilayah Kabupaten Grobogan dengan tambahan dua Kawedanan tersebut yang semula terdiri atas 129 desa menjadi 280 desa sampai sekarang. Pada tanggal 1 Januari 1930 (Staatblad 1930, No. 3) berdirilah Regent Schapsraad (Dewan Katapaten) Grobogan sebagai badan ekonomi dimana Regent (Bupati) sebagai ketuanya.
Pada Bulan April 1932 asistenan Karangasem Kawedanan Wirosari dihapus dan dalam Bulan September 1933, asistenan Gadoh Kawedanan Manggar juga dihapus (Staatblad 1932, No. 16; Staatblad 1933, No. 51). Kemudian mendapatkan tambahan asistenan Klambu Distrik Undaan Kabupaten Kudus.
Pada bulan Maret 1942 di masa Perang Dunia II daerah Grobogan juga tidak luput dari pendudukan tentara Jepang. Pada waktu itu Bupati Grobogan R. Adipati Ario Soekarman Martohadinagoro meninggalkan kota (Purwodadi) dan mengungsi di Pesanggrahan Argomulyo (milik Perhutani). Tetapi tidak lama kemudian oleh Jepang diserahkan kembali ke Purwodadi dengan ditetapkan sebagai Kentyo (Bupati) Grobogan. Pada tahun 1944 Bupati Ario Soekarman di pindah ke Semarang, digantikan oleh R Soegeng sampai tahun 1946.
Untuk jelasnya nama-nama Bupati yang pernah memerintah Kabupaten Grobogan sejak Adipati Martopuro tahun 1726 adalah sebagai berikut :
A. Pada waktu ibukota Kabupaten menetap di Kota Grobogan
Adipati Martopuro atau Adipati Puger : 1726 -
RT. Suryonagoro Suwandi atau RT. Yudonagoro.
RT. Kartodirjo : 1761-1768, pindahan dari
RT. Yudonagoro : 1768-1775. Kemudian
R. Ng. Sorokerti atau RT. Abinaro
RT. Yudokerti atau Abinarong II : 1787-1795.
RM. T. Sutoyudo : 1795-1801.
RT. Kartoyudo : 1801-1815.
RT. Sosronagoro I : 1815-1840.
RT. Sosronagoro II : 1840-1864.
B. Setelah ibukota Kabupaten menetap di Kota Purwodadi tahun 1864.
RT. Adipati Martonagoro : 1864-1875.
RM. Adipati Ario Yudonagoro : 1875-1902.
RM. Adipati Ario Haryokusumo : 1902-1908.
Pangeran Ario Sunarto : 1908-1933, Pencipta Trilogi Pedesaan yaitu di desa-desa harus ada Sekolah Dasar, Balai Desa, dan Lumbung Desa.
R. Adipati Ario Sukarman Martohadinegoro : 1933-1944.
R. Sugeng : 1944-1946.
R. Kaseno : 1946-1948. Bupati merangkap ketua KNI.
M. Prawoto Sudibyo : 1948-1949.
R. Subroto : 1949-1950.
R. Sadono : 1950-1954.
Haji Andi Patopoi : 1954-1957. Bupati Kepala Daerah.
H. Abdul Hamid sebagai Pejabat Bupati dan Ruslan sebagai Kepala Daerah yang memerintah sama-sama; 1957-1958.
R. Upoyo Prawirodilogo, Bupati Kepala Daerah merangkap Ketua DPRDGR 1958-1964. Bupati inilah yang memprakarsai pembangunan monumen obor Ganefo I di Mrapen.
Supangat; Bupati Kepala Daerah merangkap Ketua DPRGR : 1964-1967.
R. Marjaban, Pejabat Bupati Kepala Daerah : 1967-1970.
R. Umar Khasan, Pejabat Bupati Kepala Daerah : 1970-197
Kolonel Inf. H. Soegiri, Bupati Kepala Daerah : 11 Juli 1974-11 Maret 1986.
Kolonel H. Mulyono US : Bupati Kepala Daerah : 11 Maret 1986-11 Maret 1996.
Kolonel Inf. T. Soewito , Bupati Kepala Daerah : 11 Maret 1996 –2001
Agus Supriyanto, SE sebagai Bupati dan H. Bambang Pudjiono, SH sebagai Wakil Bupati Grobogan : 11 Maret 2001 –2006
H. Bambang Pudjiono, SH sebagai Bupati dan H. Icek Baskoro, SH sebagai Wakil Bupati Grobogan : 2006–2011
Penjelasan Singkat Sengkalan Hari Jadi Kabupaten Grobogan
1. Senin Kliwon, 21 Jumadilakir, Tahun 1650 Jawa.
KOMBULING CIPTO HANGR0S0 JATI
Arti :
KOMBULING : dari kata : Umbul = kaumbul, mumbul, muluk, naik ke angkasa, tiada, hilang, kawentar,
terkenal, bersatu.
CIPTO : dari kata : anggan-angan, cita-cita, gegayuhan, krenteging ati, cipta, mencipta.
HANGROSO : dari kata : roso, cipta, rasa batin merasa.
JATI : dari kata : sejati, benar, sungguh, yekti, suci.
Arti Sengkalan KOMBULING CIPTO HANGROSO JATI :
Bersatunya kehendak dengan Nyang Agung menumbuhkan rasa sejati hidup dalam kesucian.
Makna :
Bersatunya angan-angan atau cita-cita yang luhur dengan dilandasi rasa percaya kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa akan memberi semangat untuk berbuat baik, karena sadar bahwa kita (manusia) adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi martabat dan hakekatnya.
Angka Tahun :
KOMBULING – Ka-umbul-mumbul-tiada-hilang = bernilai 0 (nol)
CIPTO – angan-angan, cita-cita, gegayuhan, krentegingati = bernilai 5 (lima)
HANGROSO – ngrasa-merasa = bernilai 6 (enam)
JATI – Sejati, sayekti, benar, suci = bernilai 1 (satu)
Sengkalan
KOMBULING CIPTO HANGROSO JATI
bernilai angka tahun Jawa 1650.
2. Senin Kliwon, 4 Maret, Tahun 1726 Masehi.
KRIDHANING HANGGA HAMBANGUN PRAJA
Arti :
KRIDHANING : dari kata : kridha, gawe, obah, gerak, kerja
HANGGA : dari kata : hangga, anggota badan, tenaga
HAMBANGUN : dari kata : bangun, bekerja, menciptkan sesuatu, membuat sesuatu
PRAJA : dari kata : praja, nagara, nagari, negara
Arti Sengkalan KRIDHANING HANGGA HAMBANGUN PRAJA :
Kegiatan kerja kita adalah untuk membangun negara dengan segala isinya (manusia, bangsa, dan pemerintahan negara).
Makna :
Tekat yang kuat untuk membangun daerah atau negara yang berisi manusia dan benda wajib dilandasi oleh sarana bekerja giat di segala bidang (fisik maupun non-fisik).
Angka Tahun :
KRIDHANING - obah, gawe, nyambut gawe, bekerja = bernilai 6 (enam)
HANGGA - anggota badan (tangan dan kaki) = bernilai 2 (dua)
HAMBANGUN - mbangun, membangun, menciptakan sesuatu yang baru atau memperbaruhi sesuatu yang
lama = bernilai 7 (tujuh)
PRAJA - praja, negara, daerah = bernilai 1 (satu).
Sengkalan
KRIDHANING HANGGA HAMBANGUN PRAJA
bernilai angka tahun Masehi 1726
No comments:
Post a Comment