PPC Iklan Blogger Indonesia
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Arus Zaman

Kelas begitu ramai. Aku sebagai ketua kelas hanya geleng-geleng melihat teman-teman “memporak-porandakan” kelas ini. Ada yang sedang bermain laptop, bermain handphone, tidur, berbincang-bincang, membaca buku dan sebagainya. Lalu, apa yang membuatku dengan mudah mencentang kata “memporak-porandakan”? Tak ada guru yang masuk di kelas kami. Beliau sedang ke luar kota. Padahal, sebenarnya kami diberi tugas. Namun, tugas itu seperti angin berlalu. Bangku kelas kami benar-benar parah. Jungkir balik tak karuan. Entahlah. Mungkin di kelas ini tak ada siswa yang ingin menjadi penata kota.


Satu hal yang membuatku agak ’stres’ akan keadaan kelasku ini. Bagaimana aku mempertanggung-jawabkan kelakuan teman-temanku di akherat kelak. Aku pemimpin mereka. Tapi, sama sekali tak didengar. Sering kali aku mengingatkan diriku sendiri. Ini cobaan dari Gusti Allah, atau mungkin latihan menjadi pemimpin untuk kelak. Tidak. Aku tak boleh stres. Aku masih muda. Masih banyak cita-cita yang harus ku raih.

Ketika, awal menjadi pemimpin, aku sangat senang sekali. Karena, ketika upacara bendera hari senin, saat pembacaan doa selalu ada kalimat, “Ya Allah lindungilah pemimpin kami. Berilah ia petunjuk….” Doa kebaikan untuk pemimpin. Itu lah yang aku suka. Pemimpin pasti didoakan. Tapi, doa itu ada ketika aku duduk di bangku SD dan SMP. Ketika aku SMA sekarang, aku tidak menemukan kalimat yang mendoakan pemimpin. Jangankan doa untuk kebaikan pemimpin, doa untuk kejelekan pemimpin pun tak ada.

Salah seorang temanku melangkahkan kaki seperti model. Baju seragamnya tak dimasukkan rok. Jengkel aku melihat ada siswa seperti ini. Aku memukul bahunya. Ia mengelak. Lalu, ku arahkan pandanganku pada bajunya yang tak rapi. Ia malah melotot.

“Hey, terserah aku donk. Ini kan bajuku,” ujarnya.

“Mbakyu, anda masuk di lembaga SMA ini ada peraturannya. Tolong taati peraturan sekolah.” Aku mengingatkannya dengan sabar.

“Lho, kamu ini. Kenapa cuma aku saja yang dimarahi. Teman-teman yang lain lho juga banyak yang nggak masukin bajunya.” Ia meninggalkanku dengan sombong. Aku pandangi semua siswa. Ya ampun. Hampir 50% siswa tidak memasukkan bajunya dan tidak memakai sabuk.

Aku menghampiri salah seorang temanku yang intelek. Ia sedang membaca.

“Mbak, setujukah kau jika peraturan itu dilanggar?” tanyaku.

Ia menutup bukunya. “Tentu tidaklah. Peraturan itu dibuat untuk mendisiplinkan kita. Kita dididik untuk disiplin di sekolah ini.”

“Bagaimana dengan peraturan sekolah, Mbak?”

“Sama. Harus ditaati juga. Masak kita dengan enaknya melanggar peraturan.” Ku arahkan pandangan temanku itu pada teman-teman yang korak. Ia hanya geleng-geleng. Jawaban geleng-gelengnya tak memuaskanku.

***

Aku ingin menulis sebuah surat kritikan pada sekolahku. Isinya tentang baju tak dimasukkan, tata krama murid dan sebagainya. Semuanya kurang. Aku baru menyadari itu.

Dulu, sewaktu aku SD, aku diajari PPKn. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Aku diajari bagaimana kita menjadi anak yang mempunyai budi pekerti berdasarkan Ideologi Pancasila. Di bangku SMP pun aku masih diajari. Ada materi Tata Krama dan Unggah-ungguh pada mata pelajaran Bahasa Daerah Jawa. Aku sangat suka. Karena di Jawa ada bahasa krama Inggil yang bahasanya begitu halus. Krama inggil dipakai untuk berbicara kepada orang yang lebih tua. Sopan santun diajarkan di SD dan SMP.

Di SMA, aku tak menemukan siswa yang memperhatikan Indonesia sebagai negara penganut budaya timur. Bangsa Indonesia terkenal ramah. Tapi, sekarang ku jumpai siswa makan dan minum sambil berdiri. Siswa yang mempunyai budi pekerti yang baik dapat dihitung jumlahnya disini.

Entah, bagaimana nasib remaja yang diharapkan nanti sebagai penerus bangsa Indonesia. Aku pun hampir terkontaminasi dengan keadaan sekitarku ini. Namun, suasana teman-teman yang anggun menyadarkanku. Teman-temanku yang berprestasi menyadarkanku. Ada juara Taekwondo, Karate, Silat, OSN dan lain-lain. Para jawara itu membuatku mendecakkan lidah. Aku merasa terpacu dengan adanya para jawara itu. Sering aku bertanya apa sih resep untuk menjadi juara. Kata salah satu temanku adalah aku harus mau menjadi juara. Tentu saja aku mau. Tapi, kita harus mau berlatih dan banyak belajar. Bukan hanya mau menjadi juara. Niat dan semangat harus ada. Usaha dan doa mengiringi langkah kita untuk menjadi juara.

Bahasa. Bahasa juga menentukan sifat seseorang. Bagaimana orang tersebut dapat berbahasa dengan santun. Tapi, tak hanya manis di lidah. Sikap seseorang ketika menyampaikan sesuatu pun dapat mencerminkan bagaimana orang itu.

Layar di TV sangat menarik hati. Mulai dari yang muda sampai tua menyukai alat elektronik temuan J. F. Kenedy ini. Televisi pun mempengaruhi bahasa kita. Nenekku pernah bingung dengan bahasa yang ada dalam televisi.

“Le, maksudnya anak muda itu apa. Lu, gua, seperti itu apa?” tanya nenekku.

“Oh, itu bahasa orang yang sudah merasa pintar, mbah,” jawabku. Nenek semakin bingung. Tapi ketika menonton lagi beliau terkekeh-kekeh.

Bahasa remaja yang dibilang gaul membuat bangsa Indonesia terancam. Pasalnya jika bahasa gaul yang katanya keren itu terus digunakan, jangan-jangan pemerintahan nanti yang mana saatnya remaja memegang tampuk pemerintahan, bahasa gaul merajalela negri yang terkenal kaya ini. Bisa-bisa, media masa di Indonesia menggunakan bahasa gaul. Dan Bahasa Indonesia dengan Ejaan Yang Disempurnakan digantikan dengan bahasa itu. Tidak. Aku tak mau itu terjadi. Tapi, bahasa gaul sudah digunakan dalam majalah remaja. Aku merasa agak bingung ketika pertama kali membaca majalah dengan bahasa gaul itu.

Aku terkagum-kagum ketika mendengar seruan guruku ketika memberi amanat saat upacara bendera. Mereka seperti Jenderal yang menyemangati prajuritnya.

“Nasib bangsa kita ada di tangan kalian. Kalianlah yang akan membawa arus bangsa kita menuju bangsa yang benar-benar merdeka. Ketahuilah bahwa suatu saat nanti, seorang pemimpin akan mencul yang berasal dari sekolah ini.” Suara tepuk tengan sangat riuh. “Cerdas dan Bermartabat dalam Persaingan Internasional. Itulah visi sekolah kita.” Kali ini tepuk tangan peserta upacara lebih ramai. Guruku yang sedang berdiri di depan tersenyum bangga. “Bung Karno berkata, ‘Pikirkanlah apa yang akan kita berikan untuk bangsa kita, bukan apa yang akan bangsa kita berikan kepada kita.’”

Inilah. Aku agak tak setuju dengan yang dikatakan oleh Bapak Guru. Fitri Nganthi Wani, anak Wji Thukul, menyatakan dalam puisinya bahwa ia tak mirip dengan Bung Karno. Karena Bung Karno menyatakan bahwa ia lebih memilih bangsa daripada keluarga. Tapi, Fitri Nganthi Wani berkata, ia lebih memilih keluarga daripada bangsa. Karena bangsanya tak peduli pada keluargnya.

Kemampuan berbahasa seseorang dapat mempengaruhi orang lain. Seperti Guruku tadi. Dengan semangat beliau, beliau yakin dapat meyakinkan siswa-siswa yang haus akan kertas dengan tinta alfabet.

Sekali lagi bahasa. Bukan merupakan hal yang remeh-temeh. Bahasa dapat menimbulkan kesan positif dan negatif pada seseorang. Oleh karena itu, kita sebagai remaja, generasi penerus bangsa harus dapat berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Aku rasa, negara ini tak ingin muluk-muluk, melihat generasi penerus bangsa ini dapat berbahasa Indonesia yang baik itu pun sudah cukup membanggakan. Tak perlu dengan segudang prestasi, namun kemampuan berbahasa yang tidak baik.

Sebagai pelajar, kita harus dapat memberikan yang terbaik pada sekolah kita. Seperti menaati peraturan yang ada. Pada dasarnya, peraturan itu dibuat untuk mendisiplinkan kita. Tapi, jikalau penindak kedisiplinan kurang bertindak untuk menangani pelanggaran peraturan, maka siswa akan menganggap pelanggaran peraturan itu adalah hal biasa. Sedikit demi sedikit, lama-lama akan menjadi bukit.

Menyalakan televisi dan melihat acara remaja. Rasanya sudah lumrah dengan pakaian, bahasa dan sikapnya. Pakaiannya sangat ketat sekali. Bahkan tak jarang pakaian yang digunakan kekurangan bahan kain. Kasihan. Masuk TV kok bahan pakaiannya kurang. Lalu, sikapnya yang mereka bilang gaul, membuat jengkel orang dewasa. “Tak punya unggah-ungguh.” Mereka bilang. Seenaknya petenteng sana petenteng sini. Membuat orang merasa risih melihatnya.

Jadi, arus zaman yang dibilang gaul ini harus dapat kita cerna. Menghormati nilai luhur yang ada. Ideologi Pancasila harus dijadikan pedoman kehidupan sehari-hari. Yang mana semua ini sudah diajarkan ketika kita duduk di bangku sekolah dasar. Kata gaul harus dapat dicerna dengan baik. Gaul itu membawa dampak positif ataukah negatif?

Yang jelas, semua hal itu mempunyai dampak positif dan negatif. Kita harus mengusahakan memaksimalkan dampak positif dan meminimalisir dampak negatif. Kita tak boleh terpengaruh kebiasaan yang kurang baik karena akan mengancam masa depan bangsa kita.

Contohnya membiasakan berbahasa Inggris dan Indonesia dengan betul. Aku rasa itu juga gaul. Gaul dapat diartikan Gagah dan Unggul. Itulah arti positif dari gaul. Di sekolahku pun banyak jawara tingkat nasional bahkan internasional. Aku yakin mereka benar-benar ‘gaul’ dalam bidangnya. Menguasainya bidangnya dan berwawasan luas.

***

Salah satu Ibunda Guru pun datang ke kelas kami. Ia marah akan keadaan kelas kami. Aku sebagai ketua kelas terus diberi petuah untuk dapat menjadi pemimpin yang baik.

No comments:

Post a Comment