PPC Iklan Blogger Indonesia
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Grobogan Tempo Dulu dan Sekarang

Bany, Seorang mahasiswa Universits swasta di Semarang, seringkali jengkel setiap kali teman-teman kuliahnya mengomentari daerah asalnya. “Oh, Grobogan. Apakah jalannya masih rusak?,” ujar pemuda berusia 23 tahun yang berasal dari Kelurahan Kandangan, Purwodadi, Grobogan, ketika menirukan ucapan seorang kawannya.


Kawan yang lain menimpali, ”Bagaimana dengan banjir di sana? Kemarin aku lihat di televisi, Grobogan kembali dilanda banjir”. Aha, jalan rusak dan banjir sudah identik dengan kabupaten ini, dan itu sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum pemberlakuan era otonomi daerah.

Kalau kita naik becak di sekitar Jl Kaligawe, atau perbatasan Mranggen-Pedurungan, Semarang, kemungkinan besar lelaki yang mengayuh becak itu adalah warga Grobogan yang boro di Kota ATLAS. Jumlah penarik becak, maupun buruh pabrik, asal Grobogan di Semarang memang cukup banyak. Kalau mau ditelusuri lebih jauh, tidak sedikit pula warga daerah itu yang merantau ke Jakarta, bahkan menjadi TKI di luar negeri.
Apa yang bisa disimpulkan dari narasi di atas? Kemiskinan memang melekat erat pada kabupaten serta sebagian besar warga daerah ini. Bahkan pada awal pelaksanaan otonomi daerah, Grobogan tercatat sebagai daerah termiskin nomor dua di Jawa Tengah.
Setiap kali mendengarkan lagu Termiskin di Dunia, yang dilantunkan penyanyi dangdut Hamdan Att, kawan-kawan Sukisno di pabrik sirup itu seringkali memelesetkan syairnya menjadi ”termiskin di Jateng”.
”Itu jelas ditujukan kepada saya, juga Grobogan. Tetapi, ya… mau bagaimana lagi, wong keadaannya memang begitu. Kalau tidak begitu, mana mungkin saya bekerja di Semarang?,” ujar Sukisno.
Lumbung Padi
Kenyataan ini menjadi sebuah ironi bagi daerah yang luas wilayahnya 197.586 ha, dengan jumlah penduduk 1.360.908 jiwa itu. Melihat wilayahnya yang sangat luas, bahkan terluas kedua di Jawa Tengah setelah Cilacap, sebenarnya banyak potensi alam yang bisa dikembangkan di daerah ini.
Potensi terbesar masih di sektor pertanian. Grobogan sejak dulu dikenal sebagai lumbung padi terbesar kedua di Jateng setelah Cilacap. Areal persawahannya seluas 60.349 hektare, atau sekitar 6,04 persen dari seluruh lahan sawah di Jateng. Ini juga angka tertinggi kedua di Jateng setelah Cilacap.
Produksi kedelai dan kacang hijau menempati urutan kedua di Jateng, bahkan menjadi sentra penghasil jagung terbesar. Selain tanaman pangan, Grobogan juga menjadi sentra produksi buah-buahan di Jateng, terutama mangga, belimbing, dan pisang; tanaman perkebunan (tembakau, kapas, dan kelapa hibrida), serta sentra peternakan sapi potong, kambing dan kerbau.
Di bidang pertambangan, kabupaten ini memiliki deposit besar untuk batu gamping, pasir berbatu (sirtu), tanah liat, gipsum, dan phosphat. Belum lagi potensi pariwisata seperti Bleduk Kuwu, Air Terjun Widuri, dan Api Abadi Mrapen, atau Waduk Kedungombo yang menjadi milik Pemprov Jateng).
Sayangnya, masih banyak hal yang belum tergarap secara maksimal. Fakta ini menggelisahkan Bupati H Agus Supriyanto SE dan Wakil Bupati Bambang Pujiono SH, yang dilantik pada 12 Maret 2001, atau sekitar dua bulan lebih setelah pemberlakuan era otonomi di Indonesia.
Ketika itu, jumlah penduduk tercatat 1.337.130 jiwa, dan 455.232 orang (34,05%) di antaranya tergolong miskin. Pendapatan perkapita/tahun berdasarkan harga konstan pun amat rendah, yakni Rp 557.181,07 (2001), yang tercatat sebagai angka terendah di Jateng. Angka tersebut berbanding lurus dengan pendapatan asli daerah (PAD) yang waktu itu hanya sebesar Rp 18,45 miliar.
Kualitas sumber daya manusia (SDM) juga rendah. Angka Partisipasi Murni (APM) warga yang melanjutkan pendidikannya ke SLTA hanya 9,93 persen. Sedangkan APM-SD dan APM-SLTP masing-masing 82,52 dan 51,71 persen. Artinya, sebagian besar warga Grobogan hanya lulusan SD atau SLTP.
Kendala SDM inilah yang menyulitkan Pemkab dalam mengolah potensi sumber daya alam yang sebenarnya berlimpah. Kondisi ini makin diperburuk dengan banyaknya jalan rusak. Bayangkan saja, dari 213.246 km jalan provinsi, hanya 18.700 km (8,8 %) saja yang keadaannya masih baik.
Selebihnya, 126.666 km (59,4 %) dalam keadaan tidak baik, bahkan 67.880 km (31,8 %) dalam keadaan kritis. Belum lagi kalau melihat kondisi jalan kabupaten yang totalnya mencapai 880.100 km, yang sebagian besar dalam keadaan rusak dan rusak berat.
Ekonomi Kerakyatan
Di awal pelaksanaan otonomi daerah, Pemkab Grobogan masih berkonsentrasi pada upaya-upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada penggalian potensi daerah, kekayaan alam, dan kreativitas SDM. Prioritas ini mensyaratkan dua hal, yaitu peningkatan kualitas SDM dan penggalian sumber-sumber pendapatan potensial daerah.
”Untuk meningkatkan kualitas SDM, kami melakukannya lewat sistem education for all (pendidikan untuk semua) dan option for the poor (berpihak kepada rakyat miskin),” kata Agus Supriyanto.
Sedangkan penggalian potensi pendapatan daerah masih difokuskan di sektor pertanian, terutama melalui intensifikasi dan pengembangan teknologi pengolahan hasil pertanian. ”Upaya ini dapat memberikan nilai tambah kepada para petani, sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat,” kata Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kehutanan dan Perkebunan, Ir Edhie Sudaryanto.
Secara perlahan tapi pasti, dalam empat tahun terakhir terjadi pergerakan pada sejumlah indikator ekonomi di Grobogan. Jumlah PAD meningkat menjadi Rp 37,04 miliar atau naik 100,76 persen dibandingkan kondisi awal di tahun 2001. Begitu pula jumlah APBD yang pada tahun 2001 baru sebesar Rp 294,72 miliar, tahun ini melambung menjadi Rp 447,26 miliar.
Sedangkan APM-SLTA yang semula 9,93 persen bisa ditingkatkan menjadi 21,19 persen. APM-SLTP juga mengalami peningkatan dari 51,71 menjadi 58,13 persen. Tapi harus diakui, kenaikan pesat belum terjadi dalam pendapatan perkapita/tahun. Sebab kenaikannya dibanding tahun 2001 hanya 9,8 persen, sehingga pada akhir 2004 tercatat Rp 611.968,49.
Jumlah warga miskin juga relatif masih tinggi, yaitu 29,03 persen (395.085 jiwa) dari jumlah penduduk kabupaten. Namun, sebagai sebuah proses, upaya-upaya Pemkab mulai berjalan di atas rel yang benar. Apalagi sekarang Grobogan tidak lagi menjadi daerah termiskin di Jateng, karena sudah berada di peringkat ke-18 dari 35 daerah kota/kabupaten di provinsi ini.
Persoalannya, sang ”masinis” perlu mengendalikan lokonya secara lebih cepat, supaya gerbong-gerbong yang ditariknya dapat melaju dengan kencang. Prioritas mendesak adalah memperbaiki kondisi jalan yang rusak, agar para investor mau berdatangan dan ikut terlibat dalam menggarap potensi daerah atau sumber daya alam yang sebenarnya berlimpah. (sumber Suara Merdeka)

No comments:

Post a Comment