PPC Iklan Blogger Indonesia
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sang Penakluk Petir

Aku menutup buku “Babad Tanah Jawa” (1941) yang telah beberapa kali kubaca, tepat ketika kendaraan kami sampai di Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Tak banyak yang ditulis oleh Olthof tentang seorang yang pusaranya merana pada sebidang pekarangan yang jauh dari pusat kekuasaan tanah Jawa, yang dirintis olehnya. Dalam kesunyiannya di sini, ia tetaplah seorang legenda. Ia lebih dari sekadar seorang yang menghancurkan kepala kerbau hutan dengan tangan kosong, atau seorang petani yang menaklukkan petir.


Aku serasa mengalami déjà vu. Bagiku, Ki Ageng Selo tidak sedang terbujur di liang lahatnya yang kusam ini. Aku melihatnya tengah berkelana di hutan, lembah dan sungai, mendalami ilmu sekaligus melakukan tirakat untuk sebuah cita-cita: kiranya ia atau mungkin anak keturunannya, menjadi penguasa tanah Jawa. Hasratnya bukanlah sebuah bualan semata karena di dalam tubuhnya masih ada tetes darah Brawijaya V, penguasa Majapahit terakhir.

Di tengah belantara, aku melihatnya terperanjat bangun pada tengah malam itu. Betapa ia tercenung ketika kilau cahaya wahyu itu tak merasuk ke tubuhnya melainkan ke raga Karebet, murid yang tidur di sampingnya. Terlihat garis wajahnya yang kecewa. Bisa saja ia menyingkirkan Karebet saat itu, namun ia sadar bahwa itu semua ketetapan Tuhan yang seorang Ki Ageng Selo tak berhak mengutak-atiknya. Ia merestui Karebet alias Jaka Tingkir, muridnya, untuk meraih takdirnya ke Kesultanan Demak. Akhirnya ia hanya menitipkan cucu-cucunya : Pemanahan, Panjawi dan Juru Martani, untuk bisa terus bersama Karebet sekiranya kelak di kemudian hari benar meraih wahyu.

Kini Ki Ageng Selo terlihat berada di tengah alun-alun Kesultanan Demak. Ia sedang diuji oleh Sultan Trenggana untuk menjadi tamtama kesultanan Demak. Kerbau hutan ganas yang menyerangnya takluk dengan kepala pecah, namun ia membuang wajah dari percikan darah, sikap itu membuatnya ditampik. Ia mengamuk sampai amukannya dihentikan oleh Karebet yang telah dipilih Sultan sebagai ketua tamtama. Ia kembali ke desa dengan segala rasa kecewa.

Makam itu merana. Tak tampak kebesaran seorang Ki Ageng Selo, sosok yang menjadi benang merah penghubung mata rantai terputus antara trah Majapahit dengan Mataram. Orang-orang yang berduyun melakukan pengeramatan pada kijing batu itupun terkadang tak faham bahwa sosok yang bersemayam dipusara itu adalah leluhur Paku Buwono, Hamengkubuwono, Mangkunegoro, dan semua darah biru yang kini bertahta di istana-istana.

Aku melihat seorang petani yang mencangkul di tengah hujan. Ketika orang berhamburan pulang menghindari petir yang menyambar-nyambar, Ki Ageng Selo tetap berjibaku dengan cangkulnya. Maka inilah sang legenda: ia menaklukkan petir, meringkusnya ke dalam sebongkah batu. Batu yang akhirnya ia persembahkan kepada Sultan Demak: ”Yang Mulia, inilah batu berisi petir, jagalah karena ia akan meledak jika terkena air”. Sang Sultan lalai dan seorang nenek tua menyiramnya dengan seteguk air, meledak. Disinilah awal mula mitos: jikalau kita terancam oleh sambaran petir, maka sebutlah nama Ki Ageng Selo, niscaya petir akan bertekuk lutut.

Rintik gerimis perlahan membuyarkan lamunanku tentang masa lampau. Sayup-sayup masih terdengar riuh suara keluarga besar Ki Pemanahan dan Ki Juru Martani, yang tak lain adalah keturunan Ki Ageng Selo, melakukan eksodus ke hutan Mataram, tanah yang dianugerahkan oleh Sultan Adiwijaya atas kemenangannya menumpas Arya Penangsang. Di dalam liang lahatnya, aku yakin Ki Ageng Selo telah melihat isyarat dari jerih payah laku prihatinnya, inilah jalan bagi anak keturunannya meraih wahyu yang tertunda. Wahyu yang sempat mampir ke dalam diri Karebet, yang bergelar Sultan Adiwijaya itu telah beringsut pindah ke bocah Danang Sutawijaya, yang kelak menjadi Panembahan Senapati Sang Penguasa Mataram.

Hari mulai gelap, gerimis kini menjadi hujan. Makam yang makin sepi ini terus diterangi api abadi. Aku beranjak pulang dengan bayangan penuh tentang Ki Ageng Selo. Mobil ini melaju terayun-ayun di jalanan Blora-Purwodadi yang bertanah labil. Kami makin jauh dari pusara sang legenda. Semakin jauh dari makam itu, makin sering kami menemukan petir. Tiba-tiba kilatan besar berkilau di depan kami, menyimpan daya ledak yang begitu besar. Perlahan bibirku menggumam lirih menakut-nakuti petir: “aku keturunan Ki Ageng Selo”. Lalu mitospun berjalan: kilat berhenti dan petir pun terdiam. Takluk,...

No comments:

Post a Comment