PPC Iklan Blogger Indonesia
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Pagelaran Wayang di Solo Dihentikan Secara Paksa Oleh Sebuah Ormas Keagamaan

Nggilani! Itulah ucapan yang pertama kali terlontar dari mulut saya ketika saya bertemu dengan kawan-kawan pegiat seni di Wisma Seni Taman Budaya Surakarta jalan Ir. Sutami-Solo beberapa hari yang lalu. Semuanya terasa tiba-tiba sangat menyesakan dada saya. Bagaimana mungkin sebuah pertunjukkan kesenian berupa pertunjukkan wayang yang digelar oleh Kelompok Kesenian Wayang Kampung Sebelah tiba-tiba saja dihentikan secara paksa oleh sekelompok orang-orang yang mengatasnamakan dirinya dari sebuah organisasi massa yang berlatarbelakang agama tertentu.

Pertunjukkan kesenian wayang tersebut digagas oleh Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) “Sinar Pelangi” yang didirikan oleh Joko Kristanto warga Kampung Mojo Kelurahan Semanggi Pasar Kliwon-Solo. Kegiatan tersebut diadakan dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional. Acara yang diselenggarakan pada hari jumat tanggal 27 Mei 2011 ini didukung oleh warga Mojo RT 06 dan RT 07 RW 05 Kelurahan Semanggi dengan dimeriahkan pementasan Wayang Kampung Sebelah (WKS).

Menurut Jliteng Suparman yang juga sebagai dalang WKS bahwa keterlibatan WKS pada acara tersebut bersifat sukarela, pentas secara cuma-cuma sebagai bagian dari misi “Serangan Pentas”. Yang mana sejak bulan Juli 2009 WKS secara mandiri memiliki program kegiatan yang dinamakan “Serangan Pentas” yakni pentas gratis ke kampung-kampung atau tempat-tempat tertentu dengan misi menebarkan nilai-nilai kebangsaan dan mengkokohkan empat pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. “Serangan Pentas” yang diselenggarakan bersamaan dengan acara peringatan Hardiknas dan Harkitnas oleh PAUD Sinar Pelangi tersebut merupakan “Serangan Pentas” putaran ke-69.

Kronologis Penghentian Pentas Wayang Kampung Sebelah (WKS)

Jum’at pukul 19.30 WIB, acara dibuka dengan atraksi tarian anak-anak siswa PAUD Sinar Pelangi, dilanjutkan sambutan-sambutan dari jajaran RT/RW dan Kelurahan.

Tepat pukul 21.00 WIB pertunjukan WKS di mulai sebagi satu-satunya sajian terakhir dari perhelatan di Kelurahan tersebut. Dengan menyajikan lakon “Yang Atas Mengganas Yang Bawah Beringas”, sebagai sajian akhir. Pertunjukan direncanakan selesai pukul 23.30 wib.

Sekitar pukul 22.10 WIB (saat pertunjukan sedang berlangsung), tiba-tiba datang 4 orang yang mengenakan jubah hitam dengan identitas yang tak jelas datang menjemput Joko Kristianto selaku ketua panitia penyelenggara. Joko diajak ke masjid Al Ansor yang tak jauh dari lokasi acara. Di masjid itu sudah berkumpul sejumlah orang berpakaian jubah hitam. Tanpa alasan yang jelas, orang-orang berjubah tersebut mendesak agar pementasan WKS segera dibubarkan.

Joko Kristianto sebagai Ketua Panitia Penelengara yang merasa telah mendapatkan ijin dan dukungan penyelenggaraan dari jajaran RT/RW dan Kelurahan setempat, dan telah menyampaikan surat pemberitahuan ke jajaran Polsek Pasar Kliwon, merasa keberatan untuk menghentikan pementasan WKS tersebut. Namun karena kemudian muncul tekanan berupa ancaman pembubaran paksa dengan kekerasan oleh kelompok jubah hitam tersebut, Joko memutuskan bersedia menghentikan pertunjukan demi menghindari konflik fisik. Setelah menerima kesanggupan penghentian acara tersebut, sekelompok orang berjubah hitam itu pun pergi meninggalkan lokasi acara.

Pada pukul 22.30 WIB pertunjukan Wayang Kampung Sebelah yang baru separoh jalan itu pun terpaksa berhenti. Setelah mendapat penjelasan tentang apa yang terjadi, Jlitheng Suparman selaku dalang WKS yang merasa hak ekspresinya sebagai seniman dan warga masyarakat yang dilindungi Undang-Undang telah dilanggar secara semena-mena oleh suatu pihak, memutuskan melaporkan tindakan arogan sekelompok oknum dari sebuah ormas agama tersebut ke pihak aparat kepolisian.

Namun respon dari pihak aparat kepolisian sungguh mengecewakan. Dengan dalih ketiadaan bukti fisik kekerasan pihak Polsek Pasar Kliwon menyatakan tidak menemukan pasal yang dapat dijadikan landasan untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Disamping itu pihak Polsek Pasar Kliwon juga mengatakan bahwa sehubungan dengan keberadaan laskar ormas yang sering bikin resah masyarakat tersebut bukan ranah tanggungjawab kepolisian untuk menanganinya. Oleh sebab itu pihaknya hanya mampu menampung saja laporan itu.

Menurut Jliteng Suparman bahwa kelompok tersebut disinyalir berasal dari sebuah ormas yang menamakan diri sebagai Laskar Hisbah, dengan base camp-nya yang tidak diketahui secara pasti alias tidak jelas. Sehubungan dengan ancaman kekerasan tersebut sempat terlontar ungkapan yang bernada mengancam dari komunitas tersebut dimana mereka mengatakan; “Yen ora gelem bubar ditabrak wae!” (kalau tidak mau bubar ditabrak/diserang saja!).

Saat saya bertemu dan menanyakan langsung kepada Jliteng Suparman sebagai pemimpin sekaligus dalang Wayang Kampung Sebelah (WKS) beliau membenarkan kejadian yang sangat memprihatinkan ini; “Dampaknya bagi wayang kampung sebelah tidak seberapa. Kami hanya hanya merasa hak-hak sipil kami yang dilindungi Undang-Undang telah dipangkas oleh sekelompok orang.Disamping itu kami pikir peristiwa tersebut mereupakan preseden buruk bagi tata tertib bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maupun penegakan hukum di Indonesia. Karena beberapa kurun waktu belakangan sudah berulang kali terjadi kasus serupa namun terkesan aparat melakukan pembiaran, maka kami Komunitas Wayang Kampung Sebelah memberanikan diri membesarkan isu kasus tersebut agar mendapat perhatian dari semua pihak!” pungkasnya dengan nada yang gelisah dan rasa keprihatinan yang sangat dalam.

Senada dengan Jliteng Suparman diakui juga oleh sekian banyak pekerja seni yang sering mangkal dan berkreasi di Taman Budaya Surakarta-Jawa tengah bahwa penghentian pertunjukkan Wayang Kampung Sebelah secara semena-mena itu sangatlah disesalkan. Dengan kata lain bahwa kemerdekaan berkesenian pekerja-pekerja seni di Solo telah dirampas oleh pihak-pihak yang memang telah dengan sengaja melakukan penjajahan proses kreativitas seniman-seniman Solo. Sementara itu ketidakpedulian dan sikap masa bodohnya pihak penegak hukum dalam hal ini pihak Kepolisian Sektor (Polsek) Pasar Kliwon semakin menambah rasa sesal dan kekesalan yang mendalam disegenap sanubari pekerja seni di Taman Budaya Surakarta.

Berbagai pertanyaan menggantung di kepala saya. Ada apa sebenarnya? Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di bangsa ini? Jika para pekerja seni sudah ikut-ikutan dimusuhi oleh sebuah kelompok yang nota bene mengatasnamakan sebuah agama tertentu, dimanakah lagi tempat yang sangat layak dan pantas untuk dijadikan sebagai ajang berkreasi bagi para pekerja seni? Apa tendensi mereka dibalik semua perlakuan pemberhentian secara paksa pertunjukkan tersebut? Padahal kegiatan itu dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional.

Apapun juga alasannya, pihak-pihak terkait dalam hal ini POLRI, PEMKOT SOLO, PEMPROV JAWA TENGAH, Dinas Pendidikan Nasional-Solo, Dinas Pariwisata-Solo bahkan MENDIKNAS-RI dan MENBUDPAR-RI harus segera menyikapi hal ini. Dan, secara khusus pihak yang berwajib harus mengusut tuntas dan segera memproses secara hukum para pelaku tindakan yang sangat semana-mena yang juga telah melanggar Hak-hak Azasi Anak Bangsa. Sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di NKRI.

Sumber:kompasiana.com

No comments:

Post a Comment