Konon, dulu seni tayub hanyalah sebuah tontonan perlengkapan seremoni nazar bagi warga desa yang kebetulan punya uni alaias nazar. Masyarakat Grobogan meyakini adanya mitos, jika pernah punya nazar, tetapi tidak segera dilaksanakan setelah niatnya tercapai, maka yang bersangkutan akan dirundung malapetaka. Misalnya, ada anggota keluarga yang sakit parah, bahkan sampai meninggal dunia atau dapat pula berubah musibah fatal yang lain. Sebagai medium pengabulan nazar, diundanglah ledhek untuk menolak musibah yang bakal datang. Selain itu, juga sebagai pengucapan rasa syukur kepada Hyang Widhi atas niat dan maksudnya yang telah terkabul. Lama pertunjukan cukup singkat sekitar 1-2 jam. Konon, mantra-mantra yang diucapkan sang ledhek itulah yang sanggup meredam segala musibah.
Tayub, konon merupakan jarwa-dhosok (akronim) “Yen ditata dadi guyub” (kalau ditata jadi guyup/rukun). Ada makna harfiahnya. Pertunjukan tayub yang melibatkan ± lima pria sebagai penayub dengan dua atau tiga ledhek sebagai sripanggungnya, kalau ditata dan diatur nyaris mampu menampilkan suasana paguyuban yang kuyup akan nilai persaudaraan, kerukunan, dan kekeluargaan. Namun, toh akhirnya makna harfiah yang kuyup nilai itu jadi sirna lantaran dibikin sendiri oleh ulah penayubnya yang kadang seronok, hampir-hampir menjurus ke tingkah pornografi.
Bisa dipastikan, bila ada orang punya hajat, jauh-jauh hari mereka mengumpulkan uang. Memang beginikah sikap para pemuda desa dalam upaya menyiasati kepekaan rohani dan kodrati terhadap hiburan di abad gelombang informasi ini? Ya, barangkali memang ini merupakan siasat guna mengentaskan diri dari himpitan zaman yang menelikungnya.
Ledhek, konon merupakan jarwa-dhosok dari “Elek ben angger gelem medhek-medhek” (biar jelek asal mau mendekat). Seperti kebanyak ledhek di daerah kabupaten Grobogan, modal kecantikan tak begitu penting, meski juga berpengaruh dalam hal pemasaran. Modalnya cukup dengan dandanan yang seronok dengan vokal yang lancar selama semalam suntuk ditambah dengan keberanian mendekati kaum lelaki. Dan, agaknya mereka tampil seperti layaknya menawarkan kodrat profesi, tanpa merasa dihimpit beban dosa.
Tayub Dan Sejarah-nya
Tampil dengan kostum yang kontras sebatas dada dihiasi make up yang medhok-merok dan bau parfum yang menyengat hidung, kemudian berlenggang-lenggok di atas gelaran tikar merupakan ciri khas sripanggung pertunjukan tayub. Masyarakat Grobogan menyebutnya sebagai ledhek. Mereka tampil jika diundang oleh warga desa yang kebetulan punya hajat, entah itu khitanan maupun resepsi perkawinan.
Keberadaan ledhek di tengah-tengah masyarakat Grobogan yang mayoritas hidup dalam lingkungan agraris nyaris menyaingi seni hiburan lain semacam wayang kulit, wayang orang, atau ketoprak. Seni tayub masih diuri-uri meski hiburan berbau elektronik sejenis video juga muncul scara sporadis jika kebetulan ada warga desa yang punya hajat. Apakah ini merupakan kompensasi warga desa yang haus hiburan di sela-sela rutinitas pekerjaan bertaninya yang membelenggu ataukah memang telah kadung menjadi tradisi yang mengilus-sumsum sehingga kalau ditinggalkan ada gendam yang musti ditanggung?
Seremoni Nazar
Dengan iringan gamelan yang mengalun, sang ledhek mulai mengucapkan matra dalam bentuk tembang. Ada suasana sakral di sana. Di tengah asap dupa yang membubung dengan segenap uba rapenya semacam ayam panggang, keris, onggokan pisang, ketupat, dan beras putih, sang ledhek tak henti-hentinya mengucapkan mantra sambil menyebar beras putih ke segala penjuru sebagai tulak balak: “…ana sengkala saka kulon tinulak bali mangulon. Sing nulak balak Raja Iman Slamet …” (ada musibah dari barat ditolak kembali ke barat. Yang menolak Raja Iman Selamat) ….” Byur! Beras putih disebar ke arah barat. Demikian seterusnya higga tujuh kali sesuai dengan arah yang disebutkan. Setelah sang ledhek selesai mengucapkan mantra dalam bentuk tembang, tamatlah pertunjukan sebagai pertanda bahwa nazar telah dilaksanakan. Mereka yakin, musibah tak mungkin muncul sekaligus sang empunya nazar terhindari dari segala petaka.
Namun, seirama perkembangan seni hiburan di daerah pelosok pedesaan, seni tayub kini berubah fungsi, suasana, dan temponya. Dari fungsinya sebagai perlengkapan seremonial nazar beralih fungsi sebagai hiburan semata. Suasana sakral pun sirna berganti suasana hingar-bingar di tengah musik gamelan yang membubung ditingkah ketipak kendang yang keras membentak. Tempo pertunjukannya pun berlangsung semalam suntuk alias byar klekar seperti hiburan lain pada umumnya.
Seronok
Lazimnya, pertunjukan dimulai pukul 21.00 didahului dengan pembukaan instrumen gamelan para niyaga. Setelah semuanya siap, sang ledhek mulai memburu mangsa yang duduk di ruang tamu. Biasanya, mangsa (baca: penayub) yang ketiban smapur atau diberi selendang oleh ledheknya memberi imbalan Rp500. pertunjukan dibagi dalam 2 tahap, yakni mulai pukul 21.00 hingga pukul 24.00 giliran pinisepuh dan warga yang tergolong usia tua dan mulai pukul 0.00 dini hari hingga selesai giliran anak-anak muda. Jika diamati, pada tahap kedualah yang paling gempar.
Boleh dibilang bahwa pada tahap ini pertunjukan mencapai puncak ekstasenya. Nyaris tak ada batas antara penonton dan para penayub. Mereka sama-sama lebur dalam suasana yang hingar-bingar. Semakin larut malam, penonton kian meruah dengan tepuk sorak yang membahana. Pada tahap kedua ini, cara menayub terbagi dalam dua teknik, yakni menari dan ngepos.
Bagi para pemuda yang terampil menari, mereka memilih cara yang pertama dengan mengundang teman-temannya –istilahnya sambatan—untuk bersama-sama menari di tengah pertunjukan. Mereka bebas memilih gending-gending Jawa yang keras dan hingar-bingar dengan suara hentakan kendang yang cukp dominan, seperti gumbul thek, kijing miring, godril, celeng mogok, goyang semarang, dan semacamnya. Sambil menari, mereka mulai bertingkah. Tubuhnya mulai menghimpit, memeluk, bahkan mencium. Penonton dari semua tingkatan usia pun bersorak tempik. Mereka bergumul tanpa malu-malu, meski dilihat oleh sanak saudara dan kerabatnya. Barangkali ini sebagai kompensasi bagi parapemuda desa yang haus hiburan di sela-sela rutinitas kesehariannya yang maton.tanpa variasi.
Sedangkan, bagi para pemuda yang tak becus menari, cukup dengan ngepos, yakni duduk di kursi panjang sambil memangku sang ledhek. Mereka mirip benar dnegan insan manusia yang tengah dimabuk asmara. Dengan diiringi gending-gending Jawa yang rata-rata halus-romantis, semacam sida asih, lara branta, rujak jeruk, yen ing tawang ana lintang, dan sebagainya, mereka mulai bertingkah seronok seolah-olah benar-benar ingin melampiaskan rupa birahinya yang menggelora.
Para warga desa yang terasing dari jamahan hiburan modern semacam bioskup lari menyaub meski mengeluarkan uang lembaran dari sakunya. Mereka ikhlas, asal kebutuhan rohaninya terpenuhi. Hal ini diakui oleh Sukarjo, seorang bujanga yang dhemen menayub dengan logat Jawanya yang medhok: “Dhuwit isa digoleki kok, Mas. Ning nek ledhek mung kala-kala yen ana wong nduwe gawe” (uang bisa dicari kok Mas. Tetapi kalau ledhek hanya kadang-kadang kalau ada orang punya hajat).
Tanpa Beban Dosa
“Kula mboten isin, kok, Mas. Merki niki gaweyan kula,” ucap salah seorang ledhek –sebut saja Tukiyem—yang telah terjun sejak tahun 1979 dengan basa krama ndesanya dengan jujur, yang artinya: “Saya tidak malu kok, Mas, sebab ini pekerjaanku.” Kejujuran semacam ini juga disetujui oleh partnernya dengan anggukan kepala.
Pekerjaan, apa pun bentuk dan macamnya, kalau sudah cocok dengan kehendak nurani, memang kadang-kadang tak pandang soal etika. Kalau memang pekerjaan semacam yang dilakukan oleh Tukiyem itu sudah menjadi tuntutan nuraninya, dapatlah ia dijadikan sebagai tameng pendobrak kehidupan yang kian sulit seperti sekarang ini, meski ada bias-bias tuntutan moral di sana. Para ledhek dalamkehidupan sehari-harinya pun hidup wajar bersama warga yang lain, tanpa ada beban moral yang mesti ditanggung.
Ledhek barangkali bisa disamakan dengan keberadaan cokek di Sragen, atau tandak di Surabaya yang diterjuni secara wajar-wajar saja tanpa adanya perangkatupacara perangkat penobatan. Akan tetapi, berbeda dnegan ronggeng di daerah Banyumas yang mengenal adanya tradisi bukak klambu, yang harus rela menyerahkan kehormatannya sebelum dinobatkan sebagai ronggeng. Ledhek di Grobogan, seperti layaknya profesi yang lain, diterjuni secara wajar-wajar saja. Asal ada niat dan sanggup, meluncurlah mereka ke tengah-tengah masyarakat sebagai ledhek.
Namun begitu, mengintip pertunjukan tayub Grobogan yang rata-rata menampilkan adegan seronok, perlu diadakan garis kebijaksanaan yang tegas dari pihak yang berwenang, mengingat pertunjukan ini ditonton oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa mengenal tingkatan usia. Hal ini bisa menimbulkan dampak negatif yang lebih runyam jika tidak segera mendapatkan uluran kebijakan. Apa kata anak-anak jika melihat sanak saudaranya bergumul bersama ledhek tanpa ada jarak yang memisahkan. Para orang tua seolah meneladani anak-anaknya dengan petingkah yang seronok.
Beranjak dari sisi ini, haruskah pertunjukan tayub yang nyaris hanya memburu segi tontonan dan menihilkan unsur tuntunan, mesti diuri-uri? Ya, perlu ada penegasan yang manusiawi tanpa menyinggung perasaan dan harkat warga desa yang rata-rata lugu dan polos. Paling tidak, jarak antara ledhek dan penayub perlu dibatasi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
artikel yang berbobot
Post a Comment