PPC Iklan Blogger Indonesia
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Waspadai Kerusakan Retina pada Bayi Lahir Prematur

Kasus kebutaan yang menimpa Jared dan Jayden Christofel yang berujung pada tuntutan hukum Ny Juliana Dharmadi ke RS Omni International Tangerang, menyadarkan banyak pihak bahwa bayi lahir prematur dengan berat badan di bawah 2.000 gram memiliki berbagai risiko. Termasuk rawan terkena retinopathy of prematurity (ROP) atau kerusakan retina mata.


"Karena itu, penting bagi orangtua dari bayi lahir prematur untuk minta pada dokter anak yang merawatnya, agar dirujuk ke dokter spesialis mata guna melihat kemungkinan terkena ROP," kata dr Rini Hersetyati, dokter spesialis mata dari Klinik Mata Nusantara dalam media edukasi tentang ROP, di Jakarta, Kamis (25/6).
Dijelaskan, bayi yang lahir prematur memiliki banyak risiko, satu di antaranya kematian. Seiring dengan berkembangnya teknologi, khususnya neonatalogi, bayi prematur dengan berat yang minimal sekalipun dapat bertahan hidup.
Namun, ada bayi-bayi yang lahir dengan retina yang belum matang atau pembuluh darah di retina belum lengkap (ROP), sehingga perlu penanganan lebih lanjut pascalahir bayi tersebut. Diperkirakan, ada sekitar 10 persen bayi dengan berat badan di bawah 1.750 gram mengalami kondisi ROP.
"Sebenarnya, tidak semua bayi prematur lahir dengan ROP. Kalaupun ada gejalanya, kebanyakan ROP tersebut membaik tanpa pengobatan pada stadium yang awal. Akan tetapi, bila bayi prematur dengan ROP berkembang ke arah stadium lanjut diperlukan penanganan secepatnya," katanya.
Dr Rini menambahkan, retina adalah organ yang sangat vital dari seluruh jaringan mata. Organ tersebut berfungsi menangkap rangsang cahaya sehingga seseorang bisa melihat objek yang ada di depan matanya. Pembuluh darah retina mulai berkembang pada usia kehamilan 16 minggu dan terbentuk sempurna saat menginjak 40 minggu.
"Karena itu, pertumbuhan pembuluh darah pada mata bayi prematur belum sempurna," ucapnya menambahkan.
Pertumbuhan tak sempurna itu membuat timbulnya pembuluh darah abnormal. Efeknya, komplikasi pendarahan atau kerusakan jaringan retina. "Hal itulah yang berpotensi menimbulkan kebutaaan permanen pada bayi," ujar Rini.
Menurut Rini, bayi prematur yang paling berisiko adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan kurang dari 32 minggu. Apalagi, disertai berat badan lahir rendah, kurang dari 1.500 gram, atau salah satu di antara dua kondisi itu plus keadaan klinis berisiko tinggi.
"Misalnya, hipoksemia di mana kebutuhan oksigen dalam darah tak terpenuhi dan penyakit penyerta lain," ucap Rini lagi.
Koordinasi Dokter

Untuk mencegah kebutaan karena ROP, kata dr Rini, perlu koordinasi antara dokter spesialis anak dan dokter spesialis mata. Pemeriksaan retina pada bayi prematur bisa dilakukan mulai usia empat minggu setelah kelahiran. "Walaupun si mungil masih berada di dalam inkubator, pemeriksaan tetap bisa dilakukan."
Selama ini, menurut alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, banyak orangtua yang terlambat datang ke spesialis mata. Mereka baru menyadari ada kelainan pada si jabang bayi saat diajak interaksi.
"Ketika si kecil di bawa pulang, keluarga bayi hendaknya diberi tahu untuk memeriksakan bayi ke spesialis mata secepatnya. Upayakan tak melebihi dua pekan," ujarnya.
Kebutaan permanen, lanjut dr Rini, bisa dicegah bila terdeteksi dini. Penanganan ROP bergantung derajat penyakitnya. Jika ringan, sering tak perlu terapi, namun pengawasan ketat tetap dilakukan. "Paling tidak, tiap dua pekan harus dilihat kondisi retinanya," ujarnya.
Agar kefatalan tidak terjadi, setiap bayi prematur harus mendapat diagnosa ROP dan dilakukan pada saat bayi berumur 4-6 minggu oleh dokter mata subspesialis retina dengan menggunakan alat Indirect Opthalmoscope, atau Retcam II yang dapat mendeteksi dengan baik ROP. Sebelum diperiksa, mata bayi akan diberi obat tetes yang berfungsi untuk melebarkan pupil supaya dokter dapat melihat retina dan pembuluh darahnya secara luas.
"Pemeriksaan dilakukan dengan bius topikal dan di bawah pengawasan dokter anastesi dan dokter anak atau perawat di Neonatal Intensive Care Unit (INCU), sehingga keadaan umum bayi selalu diawasi," kata Rini.
Ditambahkan, bayi akan terus diperiksa tiap 1-2 minggu sampai dokter menyatakan perkembangan retinanya aman, yaitu perkembangan pembuluh darah retina sudah lengkap. Pada observasi selama 2 minggu berturu-turt menunjukkan adanya ROP stadium ulang sampai pembuluh darah di retina lengkap dan tidak ditemukannya ROP lagi.
"Kebanyakan bayi dengan ROP ringan (stadium 1 hingga stadium 3 ringan) akan mengalami perbaikan spontan tanpa komplikasi atau timbul jaringan parut. Namun, ada pula yang mengalami regresi dan masih berpotensi untuk terjadi komplikasi di kemudian hari," ucapnya.
Komplikasi itu berupa strabismus atau mata juling, ambliopia (mata malas), miopi (rabun jauh), glaukoma, hingga ablasio retina yang bisa terjadi pada usia 10 tahunan karena tarikan dari jaringan parut akibat pertumbuhan bola mata atau pengkerutan cairan vitreous.
"Oleh karena itu, pada anak-anak dengan riwayat ROP sebaiknya tetap kontrol ke dokter mata setahun sekali, meskipun tidak ada keluhan," ujarnya.
Pada ROP lebih berat, lanjut dr Rini, akan dilakukan tindakan fotokoagulasi laser atau cryoterapi pada daerah retina yang mengalami kerusakan. Dengan begitu, sebagian besar retina yang masih sehat bisa diselamatkan.
"Terapi laser lebih dianjurkan karena lebih aman, tidak terjadi pembengkakan, dan risiko henti nafas yang sangat kecil dibandingkan cryoterapi. Penanganan dengan laser maupun cryo dilaporkan dapat mencegah kebutaan pada bayi ROP sebesar 50 persen," katanya.
Tindakan terakhir yang bisa dilakukan pada bayi ROP stadium 4 yaitu operasi vitrektomi dengan menyedot cairan vitreous dan membersihkan jaringan ikat. Tingkat keberhasilan setiap tindakan sangat tergantung pada keahlian dan pengetahuan dokter. "Namun, bila sejak awal bayi prematur didiagnosa ROP, kemungkinan risiko besar tidak terjadi. Jadi, sayangi buah hati Anda dengan melakukan pencegahan dan deteksi dini," ucap dr Rini menegaskan.

No comments:

Post a Comment